REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Untuk pertama kalinya hukuman kebiri kimia diterapkan di Indonesia. Hukuman yang diharapkan memberikan efek jera ini diberikan kepada terdakwa pemerkosa 9 anak di Mojokerto. Ini adalah bentuk keseriusan negara yang telah mengategorikan kekerasan seksual kepada anak sebagai kejahatan luar biasa setara dengan kejahatan narkoba, terorisme, dan korupsi.
“Ini peringatan keras bagi semua predator anak di mana saja Anda berada. Lebih baik bertobat karena saya yakin hukuman kebiri kimia ini akan menjadi pertimbangan hakim-hakim lain. Tidak ada ruang bagi predator anak di negeri ini,” ujar aktivis perlindungan anak Fahira Idris, dalam pesan singkat kepada Republika.co.id, Selasa (27/8)
Fahira mengapresiasi gebrakan yang dilakukan Pengadilan Negeri (PN) Mojokerto yang dikuatkan Pengadilan Tinggi (PT) Surabaya karena tegas menjalan=kan amanat undang-undang. Menurut anggota DPD RI ini, Perppu ini keluar karena semakin marak kasus kekerasan terhadap anak. Selain sanksi hukum maksimal terhadap pelaku kekerasan seksual mulai dari hukuman mati dan seumur hidup, juga hukuman tambahan yaitu kebiri kimia.
“Saya yakin, kebiri kimia ini berdampak signifikan terhadap upaya kita menurunkan dan menghilangkan kekerasan seksual terhadap anak,” kata Fahira.
Selanjutnya, mengenai sikap Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jatim yang menolak menjalankan kebiri kimia, Fahira meminta Menteri Kesehatan dan pihak terkait mencari jalan keluar. Hal itu harus dilakukan karena kebiri kimia bisa terlaksana karena sudah merupakan perintah pengadilan dan amanat UU Perlindungan Anak.
"Opsi menggunakan dokter dari satuan kepolisian untuk melakukan kebiri kimia bisa menjadi salah satu pertimbangan," kata Fahira.
Sebelumnya, Aris (20), pemuda asal Dusun Mengelo, Desa Sooko, Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, harus menjalani hukuman kebiri kimia setelah terbukti melakukan perkosaan terhadap 9 anak. Bahkan Aris juga didenda Rp 100 juta, subsider 6 bukan kurungan.
Putusan pidana 12 tahun kurungan dan kebiri kimia sudah inkrah berdasarkan putusan Pengadilan Tinggi Surabaya dengan nomor 695/PID.SUS/2019/PT SBY dan tertanggal 18 Juli 2019.