REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dian Fath Risalah, Wahyu Suryana, Dessy Suciati Saputri
Tes wawancara dan uji publik calon pimpinan (capim) KPK pada Rabu (28/8) mengungkap fakta adanya kandidat yang kurang memahami Undang-undang (UU) Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Akademisi Luthfi Jayadi Kurniawan menjadi salah satu peserta yang menjalani wawancara dan uji publik kemarin.
Dalam tes wawancara, terungkap Luthfi tidak terlalu memahami perbedaan antara pasal penerima suap dan pemberi suap. Awalnya, Wakil Ketua Pansel Capim KPK, Indriyanto Seno Adji menanyakan terkait pemahaman Luthfi soal UU Nomor 31 Tahun 1999. Indriyanto pun menanyakan soal beda Pasal 5 dan Pasal 12 UU Tipikor tersebut.
"Pasal 5 di UU Tipikor dan Pasal 12 di UU Tipikor, apa? 12 a, B, b kecil. Kalau enggak paham jangan dijawab," tanya Indriyanto.
Luthfi pun langsung menjawab dengan lugas bahwa dia tidak paham perbedaan antara pasal 5 dan pasal 12 undang-undang tersebut.
"Ya tidak. Saya tidak hafal," jawab Luthfi.
Mendengar jawaban Luthfi, Indriyanto langsung menegaskan pentingnya pemahaman UU Pemberantasan Korupsi. Menurutnya, seorang pimpinan KPK harus memahami UU Pemberantasan Tipikor lantaran menjadi bekal sangat penting dalam gelar perkara.
"Itu rata-rata perkara suap di sana Pak. Kalau sampai perdebatan keras di sana bisa bedakan pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, perdebatan satu pasal bisa sampai enam jam. Kalau kita enggak paham bapak bengang-bengong jadi pimpinan," tegas Indriyanto.
Ketua Pansel Capim KPK Yenti Garnasih (tengah) didampingi anggota pansel memimpin tes wawancara dan uji publik Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (Capim KPK) periode 2019-2023 di Kementerian Sekretariat Negara, Jakarta, Selasa (27/8).
Selain Luthfi, capim KPK yang juga akademisi, Neneng Euis Fatimah ditanya oleh salah satu panelis soal pemahamannya terhadap Konvensi PBB Antikorupsi (UNCAC) yang diratifikasi pada 2003. Menjawab pertanyaan panelis, Luhut Pangaribuan, Neneng Euis hanya menjawab seadanya.
"Tahu UNCAC?" tanya Luhut.
"Itu perkumpulan PBB," jawab Neneng Euis.
Saat ditanyai tentang isi dari UNCAC, Neneng tak bisa menjawabnya. Luhut pun kembali mencecar pemgetahuan Neneng Euis apakah mengetahui UNCAC telah diratifikasi.
"Kalau tahu sudah diratifikasi seharusnya tahu dong itu instrumen internasional, sudah baca isi UNCAC-nya?" cecar Luhut lagi.
"Sebagian saya baca tapi dalamnya belum," jawabnya lagi.
"Loh bagaimana ibu mau mempelajari lagi tinggal beberapa bulan lagi jadi pimpinan KPK, jadi bagaimana ini," ujar Luhut menanggapi jawaban Neneng Euis.
Diketahui, UNCAC merupakan terobosan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, khususnya dalam hal pengembalian aset di berbagai negara terutama Indonesia. Namun sebagai suatu peraturan yang (relatif) baru dan Indonesia sebagai salah satu negara yang sudah meratifikasi konvensi ini, terdapat permasalahan-permasalahan yang pada akhirnya menyebabkan Indonesia tidak dapat memaksimalkan usaha pengembalian aset.
Salah satu tujuan utama UNCAC adalah memperkuat langkah-langkah pencegahan dan pemberantasan korupsi dengan lebih efisien dan efektif, sehingga memerlukan kerja sama antarnegara yang lebih erat karena dalam kenyataannya hasil korupsi dari negara ketiga sering ditempatkan dan diinvestasikan di negara lain berdasarkan kerahasiaan bank yang bersifat konvensional.
Tes wawancara dan uji publik capim KPK pun masih berlangsung hingga hari ini. Ada 20 capim KPK yang menjalani tes yang digelar di Kantor Sekretariat Negara, Jakarta Pusat.
Seperti diberitakan sebelumnya, 20 capim KPK yang tersisa saat ini mendapatkan sorotan dari koalisi masyarakat sipil. Koalisi Kawal Capim KPK juga ikut mengawasi jalannya proses seleksi.
Anggota Koalisi Capim KPK, Wana Alamsyah dalam keterangannya, Rabu (28/8), mengaku heran mengapa Panitia Seleksi (Pansel) Capim KPK meloloskan capim yang memiliki pemahaman rendah terhadap pemberantasan korupsi. "Yang mengherankan adalah mengapa capim tersebut lolos hingga tahap wawancara. Seharusnya saringan awal pansel yakni materi dasar mengenai kelembagaan hingga konsep korupsi," tutur Wana.
Jaringan Anti Korupsi Yogyakarta juga mencatat banyak masalah dari proses seleksi capim KPK periode 2019-2023. Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM berpendapat ada satu kondisi yang mengkhawatirkan dari proses tersebut. Bahkan, prosesnya disebut sudah tidak mengindahkan dan menjunjung tinggi prinsip integritas.
Peneliti Pukat UGM, Hasrul Halili mengatakan, ada situasi kritis terkait proses seleksi. Sorotan utama masyarakat sipil ada di beberapa nama-nama calon pimpinan yang memang memiliki catatan serius.
"Salah satu gelagat tidak sehat misalnya Pansel Capim KPK tidak mempertimbangkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), tidak mengindahkan Pasal 29 UU KPK," kata Hasrul, Rabu (28/8).
Kemudian, Pansel Capim KPK dinilai tidak mempertimbangkan masukan publik dalam melakukan proses seleksi. Padahal, prinsip transparansi menjadi ketentuan sesuai Pasal 31 UU KPK soal kewajiban menjelaskan.
Hasrul turut menyoroti rilis-rilis ilegal yang dilakukan Pansel Capim KPK. Sebab, ia merasa, rilis-rilis itu bersifat individual, sedangkan pekerjaan Pansel bersifat kolektif kolegial.
"Sekarang bola ada di presiden, apakah konsisten dengan manifesto antikorupsi selama ini, kalau take it for granted (terima-terima saja) artinya tidak konsisten," ujar Hasrul.
Anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Buya Syafii Maarif pun sampai ikut bersuara terkait proses seleksi capim KPK saat ini. Ia meminta agar Komisi III DPR RI memilih pimpinan KPK jilid V yang berintegritas dan memiliki semangat dalam pemberantasan korupsi dan tidak berdasarkan pragmatisme politik.
“Saya berharap Komisi III itu jangan memilih berdasarkan pragmatisme politik. Tapi betul-betul untuk memperbaiki negeri ini,” ujar Buya di Gedung KPK Jakarta, Rabu (28/8).
Karena, lanjut Buya, Komisi III DPR RI merupakan penentu jalannya lembaga antirasuah hingga lima tahun ke depan. "Mari kita bersama-sama mencintai bangsa ini, perkuat lembaga antirasuah ini. Dan di samping itu juga pimpinan KPK kompak. Kalau kompak mereka akan bagus sekali," tegasnya.
Buya pun mengajak semua elemen, khususnya Komisi III DPR dan pansel sama-sama menjaga marwah KPK. Salah satunya adalah dengan memilih pimpinan KPK yang benar-benar memiliki integritas.
“Harus dicari skala prioritas dalam penanganan, penindakan iya tapi pencegahan juga. Saya rasa itu, apa pun juga lembaga ini wajib kita pertahankan dan jaga bersama,” tegasnya.
Lebih lanjut Buya menegaskan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) harus benar-benar selektif dalam melakukan seleksi Capim KPK sebelum diserahkan kepada Komisi III DPR RI. Idealnya, kata dia, mereka yang lolos sepuluh besar harus bersih dari catatan hitam pemberantasan korupsi dan tindak pidana lainnya.
"Setidak-tidaknya yang memimpin KPK itu yang catatan hitamnya sedikit atau tidak ada sama sekali. Itu saja," tegasnya
Buya juga mengingatkan siapa pun yang punya agenda pelemahan pemberantasan korupsi sebagai tindakan melawan bangsa dan negara. Begitu juga terhadap panitia seleksi calon pimpinan KPK, Buya Syafii menyebut pihak tersebut harus benar-benar bersih dan mengakomodasi harapan masyarakat dan pimpinan lembaga superbody yang aktif saat ini.
"Jangan hanya bertopeng-topeng, janganlah, ya. Rekam jejak harus sangat jelas. Kalau bermasalah, apalagi kalau nanti menyangkut penegakan hukum atau korupsi itu namanya, kita bisa berkhianat pada bangsa ini," tegasnya lagi.
Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko, menegaskan, Presiden Jokowi tak bisa melakukan intervensi terhadap proses seleksi calon pimpinan KPK. Moeldoko meminta masyarakat agar mempercayakan proses seleksi ini kepada Pansel Capim KPK.
“Tim seleksi betul-betul mandiri. Sudahlah, percayakan pada tim seleksi. Kalau mau cari sempurna di surga sajalah, gitu,” ucapnya.