REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perang dagang merupakan dampak dari kebijakan Amerika Serikat (AS) dalam menanggapi kurangnya komitmen dari Cina. Hal tersebut ditegaskan Asisten Menteri Luar Negeri AS untuk Urusan Asia Timur dan Pasifik David R Stilwell di Jakarta, Ahad (1/9), dalam rangka kunjungannya selama tiga hari di Indonesia.
"Untuk perang dagang antara AS dengan Cina, memang ini sesuatu yang telah terjadi sejak lama dan AS hanya menanggapi tren terhadap kurangnya komitmen Cina terhadap perjanjian yang ada," ujar Stilwell.
Dia lebih lanjut menjelaskan, Pemerintah Amerika Serikat memandang bahwa Cina telah melanggar beberapa komitmen dagang, termasuk perjanjian Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Untuk itu, kata Stilwell, Presiden AS Donald Trump mengeluarkan kebijakan yang bersifat mendesak Cina untuk memenuhi komitmenya.
"Jadi Presiden Trump berhak untuk menuntut Cina untuk memenuhi komitmen mereka," ujar dia.
Stilwell pun mengakui bahwa perangdagang antara Cina dan Amerika Serikat itu sebenarnya suatu situasi yang sudah mulai terbangun selama bertahun-tahun.
Dalam perang dagang tersebut, Cina dan AS mulai memberlakukan tarif tambahan terhadap produk impor masing-masing mulai 1 September 2019. Pemberlakuan itu menyusul peningkatan ketegangan perang dagang yang terjadi antara kedua negara, meskipun pemerintah AS dan Cina sempat menunjukkan tanda-tanda untuk melanjutkan negosiasi pada September ini.
Amerika Serikat akan mulai mengumpulkan tarif 15 persen atas impor Cina yang bernilai lebih dari 125 miliar dolar AS, termasuk untuk speaker pintar, headphone bluetooth, dan alas kaki.
Sebagai balasan, Cina akan mulai mengenakan tarif lima persen pada minyak mentah dari AS. Hal itu merupakan pertama kalinya produk minyak AS menjadi sasaran sejak dua negara ekonomi terbesar di dunia memulai perang dagang mereka lebih dari setahun yang lalu.