REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pembahasan rancangan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantsan Tindak Pidana Korupsi (RUU KPK) mulai memasuki tahap krusial di DPR. Anggota DPR akan mulai membahas dan mendalami masukan-masukan pemerintah dalam rapat yang dijadwalkan dimulai hari ini.
Pembahasan tersebut dilakukan setelah pada Jumat (13/9) lalu Panitia Kerja (Panja) Revisi UU KPK menggelar rapat tertutup. "Dilanjutkan pada Senin (16/9) yang akan datang," kata Ketua Panja Supratman Andi Agtas kepada Republika, kemarin.
Pembahasan revisi UU KPK yang disetujui pemerintah dan DPR sendiri telah berjalan sejak Kamis (12/9) malam. Saat itu, pihak pemerintah yang diwakili Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly membacakan masukan dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) soal revisi UU tersebut.
Supratman menyatakan, masukan pemerintah persebut akan diperdalam dalam rapat selanjutnya. "Ada beberapa poin yang substantif sekali yang merupakan usulan pemerintah yang masih memerlukan pembahasan lebih dalam," kata Supratman. Ia mengatakan, semua masukan akan dipertimbangkan.
Menurut dia, masing-masing fraksi memiliki pendapat masing-masing tentang usulan tersebut. "Ada beberapa substansi yang merupakan substansi usulan pemerintah yang harus kita sesuaikan dengan pendapat fraksi-fraksi," ujar Supratman. Ia juga mengatakan, sikap masing-masing fraksi masih dinamis.
Pada Jumat pagi, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan kesediaan pemerintah mengakomodasi sejumlah pasal perubahan dalam revisi UU KPK. Di antaranya, ia menyetujui perubahan kelembagaan KPK menjadi lembaga pemerintah pusat dengan konsekuensi pegawainya akan dijadikan aparatur sipil negara (ASN) atau pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (P3K). Pasal itu sebelumnya ditolak KPK dan lembaga pegiat antikorupsi dengan alasan akan melemahkan independensi KPK.
Jokowi juga menyepakati dibentuknya unsur baru di KPK, yakni dewan pengawas. Jokowi ingin dewan pengawas ini dipilih dan ditunjuk langsung oleh presiden melalui proses seleksi.
"KPK cukup meminta izin (penyadapan) internal dewan pengawas untuk menjaga kerahasiaan," ujar Jokowi. Pandangan Jokowi senada dengan Pasal 12B RUU KPK. Penyadapan dari dewan pengawas ini juga menjadi salah satu pasal yang ditolak KPK dan berbagai pihak yang mengklaim prolembaga itu.
Presiden juga sepakat bahwa KPK diberi kewenangan menghentikan penyidikan dan penuntutan alias SP3. Kewenangan itu juga sebelumnya ditolak KPK dengan alasan seluruh kasus yang ditangani KPK ditangani dengan hati-hati dan pasti didahului bukti-bukti permulaan yang kuat.
Selain itu, Jokowi menyatakan, pemerintah tak setuju bahwa penuntutan harus melalui koordinasi dengan Kejaksaan Agung, juga tak setuju bahwa pelaporan laporan harta kekayaan pejabat negara (LHKPN) tak harus ke KPK. Presiden juga tak setuju penyelidik dan penyidik KPK hanya dari kepolisian dan kejaksaan.
Sedangkan, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) menyatakan kini menunggu panggilan dari DPR soal tindak lanjut revisi tersebut. "Kita menunggu info dari Baleg DPR untuk selanjutnya. Kita mengikuti iramanya DPR saja," kata Kepala Biro Humas, Hukum, dan Kerja Sama Kemenkumham Bambang Wiyono pada Republika, Ahad (15/9).
Ia menyampaikan perwakilan Kemenkumham hadir dalam tiap rapat pembahasan revisi UU KPK. Sebab, Kemenkumham sudah diberi amanah oleh Presiden untuk membahas revisi UU KPK bersama Kementerian Pendayagunaan Aparatur Sipil Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB).
"Pak Menteri mewakili pemerintah hadir dalam rapat dengan DPR. Kemenkumham wajib hadir sebagai wakil pemerintah. Jika rapat panja, cukup diwakili Pak Dirjen atau eselon satu," ujar Bambang.
Bambang menekankan, proses revisi UU KPK sudah mengikuti mekanisme yang berlaku. Dengan begitu, nantinya hasil revisi itu tak cacat di mata hukum. "Sebuah UU lahir harus dengan kesepakatan bersama antara pemerintah dan DPR, lalu harus mengikuti mekanisme pembentukan perundang-undangan," kata dia.
Rencana revisi UU KPK ini sebelumnya menjadi alasan sejumlah pihak menilai bahwa
KPK tengah dilemahkan. Selain melalui revisi KPK, berbagai pihak juga menilai pemilihan calon pimpinan KPK melalui panitia seleksi yang dibentuk presiden dan kemudian DPR sebagai upaya pelemahan.
Atas asumsi tersebut, Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengundurkan diri dari KPK pada akhir pekan lalu. Sementara itu, Ketua KPK Agus Rahardjo dan Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif mengembalikan mandat pengelolaan lembaga itu ke Presiden sembari menunggu perintah lebih lanjut.
Pakar hukum tata negara dari Universitas Islam Indonesia, Mahfud MD, menilai revisi UU KPK sebenarnya memiliki materi-materi yang bagus. Namun, revisi banyak menjadi polemik karena tidak dilakukan sesuai prosedur. "Sejak awal saya mengatakan, setiap rancangan UU itu harus dibahas dengan asas keterbukaan, mendengar pendapat masyarakat, kunjungan studi, bukan tiba-tiba jadi," kata mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu di Yogyakarta, Ahad.
Ia mengingatkan, sesuai prosedur pembuatan UU, DPR harus melakukan dengar pendapat publik. Jika tidak masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) seperti RUU
KPK ini, cuma ada empat kondisi yang membolehkan UU dibuat. Mulai dari adanya peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu), adanya putusan MK, adanya perjanjian internasional, dan adanya keadaan luar biasa.
Artinya, kata Mahfud, dalam kondisi normal seperti saat ini, semestinya rancangan revisi UU KPK dimasukkan ke Prolegnas lebih dahulu sebelum dibahas lebih lanjut.
"Hanya di situ masalahnya, materi banyak yang bagus-bagus, jadi saya bicara prosedur saja, soal materi bisa diperdebatkan," kata Mahfud.
Mahfud juga menuturkan, Presiden Joko Widodo masih bisa menarik usulan revisi UU KPK tersebut. Presiden Joko Widodo disebut dapat pula menunda pembahasan-pembahasan terkait revisi UU KPK tersebut. n wahyu suryana ed: fitriyan zamzami