REPUBLIKA.CO.ID, HONG KONG -- Pemerintah Hong Kong menegaskan kembali kekerasan bukanlah solusi, setelah unjuk rasa berujung kekacauan terjadi, Ahad (15/9). Polisi menembakkan gas air mata dan meriam air setelah demonstran melemparkan bom molotov ke gedung-gedung pemerintah, memblokir lalu lintas, dan mengobarkan api.
Pemerintah dalam sebuah pernyataan, Ahad malam, menyatakan, kekerasan hanya akan merugikan masyarakat. Pemerintah juga menyampaikan keinginaannya dengan tulus untuk menyelesaikan masalah yang terjadi.
"Beberapa pemrotes radikal melemparkan bom bensin dan batu bata ke markas pemerintah, membakar bendera nasional, dan menantang kedaulatan nasional. Penggunaan kekerasan bukanlah cara menyelesaikan masalah dan pemerintah menunjukkan ketulusan yang besar dalam membangun dialog untuk berkomunikasi dengan warga," ujar pernyataan itu dilansir di Straits Times, Senin (16/9).
Setidaknya delapan orang terluka, dengan tiga orang mengalami luka serius dalam bentrokan di seluruh kota pada Ahad. Layanan kereta api dilanjutkan pada Senin pagi.
Sebelumnya, operator kereta api, MTR Corp juga mengungkapkan kemarahan dan kecaman atas tindakan para pemrotes. Pengunjuk rasa melemparkan bom bensin untuk pertama kalinya ke stasiun Wan Chai dan Causeway Bay. Sedangkan Stasiun Tin Hau dan Admiralty telah dirusak.
Aksi unjuk rasa terjadi pada akhir pekan ke-15 berturut-turut terjadi di Hong Kong. Protes antipemerintah awalnya terjadi pada Juni dan terkadang semakin berkembang menjadi kerusuhan dengan adanya bentrokan dengan polisi.
Protes dipicu Rancangan Undang Undang (RUU) ekstradisi, yang dianggap warga sebagai bagian dari berkurangnya otonomi wilayah di bawah kekuasaan China. Kepala Eksekutif Hong Kong, Carrie Lam mengatakan RUU itu sudah ditarik.
Para pemrotes menginginkan tuntutan mereka yang lain. Mereka meminta adanya demokrasi yang lebih besar dan pertanggungjawaban polisi selama protes terjadi.
China menyatakan Hong Kong merupakan urusan internalnya. Inggris mengatakan memiliki tanggung jawab hukum memastikan China mematuhi kewajibannya berdasarkan Joint Declaration.
Hong Kong sebelumnya kembali ke China di bawah formula satu negara, dua sistem. Ini termasuk sistem hukum independen.