REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengelolaan dana wakaf perlu managemen profesional. Hal ini karena wakaf adalah objek harta benda yang harus produktif, bukan sesuatu yang diam dan tidak bermanfaat,
Ketua Forum Wakaf Produktif, Bobby Manulang mengatakan wakaf sudah seharusnya menghasilkan sesuatu agar bisa diberikan pada penerima manfaat. Aset wakaf tetap terjaga dan ada nilai manfaat yang disedekahkan.
"Selama ini wakaf yang diketahui hanya sebatas makam, masjid, madrasah, padahal bisa lebih dari itu," katanya dalam diskusi publik Potensi Ekonomi Wakaf dalam Ekosistem Ekonomi Syariah Indonesia di Gedung Kementerian Perekonomian, Jakarta, Kamis (26/9).
Agar bisa menghasilkan nilai manfaat ekonomi, maka managemen wakaf harus profesional. Direktur Eksekutif Dompet Dhuafa, Imam Rulyawan mengatakan DD menerapkan kolaborasi dengan sistem korporasi sehingga aset wakaf dikelola secara profesional.
Contoh dalam pengelolaan rumah sakit wakaf, DD menggandeng perusahaan terpisah dalam bentuk PT sebagai operator. DD bertindak layaknya investor pemilik aset wakaf. Pengelola beroperasi layaknya perusahaan yang harus menghasilkan profit yang akan jadi nilai manfaat.
"Sejumlah dana pengelolaan juga berasal dari dana zakat, infaq, sedekah," katanya.
Pengelolaan profesional seperti ini juga melibatkan adanya Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), membuat Rencana Kegiatan dan Anggaran Tahunan (RKAT). Hal tersebut akan berimbas pada peningkatan kepercayaan pada masyarakat.
Deputi Direktur Departemen Ekonomi dan Keuangan Syariah Bank Indonesia, Edi Fairuz Abadi menambahkan ada dua hal yang kurang dari pengelolaan wakaf di Indonesia. Pertama dari segi edukasi, kedua segi governance.
Edi mengatakan edukasi masyarakat terkait wakaf masih sangat rendah. Kedua, pengelolaan yang belum profesional membuat masyarakat belum yakin pada lembaga-lembaga nadzhir.
"Maka dari itu kami telah meluncurkan waqf core principle yang setidaknya bisa jadi standar atau tolak ukur pengelolaan wakaf oleh nadzhir dengan taraf internasional," katanya.
Sehingga kapabilitas nadzhir di Indonesia bisa setara, baik dalam hal administrasi, hingga pengelolaan manajemen risiko. Nazhir Indonesia perlu punya kemampuan lebih bahkan setara direksi-direksi di lembaga besar, misal perbankan syariah.