REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat lingkungan menilai kejadian kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang kembali terjadi pada tahun ini memerlukan penegakan hukum tegas untuk korporasi yang telah terbukti melakukan dan membiarkan kebakaran di wilayahnya.
"Penegakan hukum tentu sangat penting, apalagi sudah banyak kasus soal karhutla yang inkrah. Setelah pengenaan sanksi dan denda, harus ada pula pertanggungjawaban dari dampak kegiatan korporasi di lahan tersebut," kata Direktur Wetlands International Indonesia I Nyoman Suryadi Putra dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (26/9).
Suryadi menekankan, penegakan hukum yang tegas menunjukkan bahwa pemerintah serius menangani persoalan karhutla. Hal itu juga harus didorong dengan ketegasan mengawasi kegiatan korporasi supaya karhutla tidak menjadi bencana berulang.
Ia mengatakan, lahan hutan tanaman industri (HTI) dan perkebunan yang dikelola korporasi, biasanya akan meninggalkan kanal-kanal besar untuk menyalurkan air keluar dari lahan gambut. Hal itu mengancam ekosistem di lahan gambut yang membuatnya menjadi mudah terbakar pada musim kemarau. Namun, membuat area HTI dan kebun di tanah gambut jadi mudah tenggelam ketika musim berganti.
"Harus ada upaya pengawasan ekstra dari lembaga yang berwenang soal kanal-kanal ini. Pada saat ini mungkin yang punya wewenang cukup besar adalah di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Kementerian Pertanian," kata Suryadi.
Khusus untuk lahan gambut, Suryadi menilai Badan Restorasi Gambut (BRG) masih terkendala kewenangan pengawasan yang terbatas di lahan nonkonsesi dan sebagian konsesi perkebunan.
"Koordinasi soal kewenangan ini mungkin perlu dilakukan. Akan tetapi, yang paling penting adalah penyamaan visi bagaimana lahan gambut yang rentan ini bisa dikelola dan tidak menjadi biang permasalahan tiap tahun," katanya.
Penyamaan visi serta upaya pengawasan soal pengelolaan lahan gambut di area konsesi juga harus dilakukan secara serentak dan terkoordinasi dengan baik.
"Jangan sampai ada satu wilayah yang sudah dikelola baik dan kooperatif, wilayah lainnya justru seakan dibiarkan bertahun-tahun selalu dibakar dan bermasalah. Apalagi, kalau terbukti korporasinya dari luar Indonesia. Tidak akan selesai," kata Suryadi.
Hingga pertengahan September 2019, KLHK sudah menyegel 42 lahan perusahaan yang diduga terlibat dalam karhutla. Sudah ada empat korporasi yang terbukti dan dijadikan tersangka dan dari 42 perusahaan tersebut, beberapa di antaranya memiliki aliran modal dari luar negeri, seperti dari Malaysia dan Singapura.