Jumat 27 Sep 2019 16:55 WIB

Menristekdikti Dinilai Lupa Sejarah Gerakan Mahasiswa

Demonstrasi untuk menjaga Indonesia agar tidak kembali ke rezim nondemokrasi

Dosen ilmu politik UI, Dr Sri eko wardani, Msi
Foto: Republika/Esthi Maharani
Dosen ilmu politik UI, Dr Sri eko wardani, Msi

REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK -- Dosen Ilmu Politik Universitas Indonesia, Sri Budi Eko Wardani menilai Menteri Riset dan Teknologi (Menristekdikti) Mohammad Nasir seperti lupa sejarah gerakan mahasiswa. Hal ini setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) memerintahkannya untuk berdialog dengan kampus-kampus untuk meredam demonstrasi mahasiswa.

"Ini aneh. Menurut saya kayak lupa sejarah. Gerakan mahasiswa ini kan salah satu kekuatan dalam demokrasi. Ketika peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru dan Orde Baru ke Reformasi ada peran mahasiswa dalam proses transisi politik ke arah yang demokratis," katanya saat ditemui Republika, Jumat (27/9).

Ancaman Menristekdikti yang akan memberi sanksi rektor diyakini tidak akan efektif karena aspirasi tidak bisa dikekang. Apalagi perguruan tinggi juga dijamin dalam kebebasan berpikir, kebebasan berekspresi, kebebasan akademik.

"Fase pendidikan mahasiswa adalah kebebasan berpikir, ekspresinya pun dijamin dalam perguruan tinggi. Ketika mahasiwa melihat ketidakadilan padahal mereka diajari berpihak pada kebenaran dan keadilan ya bagaimana antara praktik dan teori menjadi tidak sama dong?" katanya.

Ia mengatakan sebagai calon pemimpin bangsa, mahasiswa justru dibutuhkan sensitivitasnya, dibuktikan kepeduliannya untuk bisa bertindak. Ia juga yakni mahasiswa bertindak juga tidak asal-asalan tetapi berdasarkan kondisi yang menurut mereka sudah genting.

Menurutnya, mahasiswa dan masyarakat melihat ada proses yang tidak benar dan tidak beres di DPR bersama pemerintah dalam mengesahkan berbagai undang-undang kontroversial seperti UU KPK. Proses pembuatan UU KPK, lanjutnya, adalah proses yang sangat oligarki yang menunjukkan negara ini dikendalikan oleh kartel politik. Bahkan tidak membuka prosesnya kepada publik untuk UU yang sepenting UU KPK.

"Ini seperti ada kesepakatan bersama untuk mengesahkan pada saat injury time. Langsung ketok disahkan. Publik merasa ini cara yang enggak benar. Gerakan mahasiswa muncul untuk merespons itu. Kalau mereka (DPR-Pemerintah) enggak diingatkan, mereka enggak tahu kalau ini salah. Mereka harus tahu kalau ada publik yang tetap mengawasi. Jadi, jangan main-main," katanya.

Menurutnya, demonstrasi yang terjadi beberapa hari terakhir ini untuk menjaga Indonesia agar tidak kembali ke rezim non-demokrasi. Mahasiswa dan masyarakat memberikan peringatan cara-cara yang tidak benar tadi kalau tidak segera disikapi dikhawatirkan akan berkelanjutan.

"Kalau berkelanjutan nanti Indonesia jadi new ototarian: wajahnya demokrasi yang dilihat dari pemilu bagus dll tapi praktik politik dan proses politik di dalamnya tertutup atau dikuasai kelompok politik tertentu. Demokrasi kan pelibatan partisipasi publik dalam proses politik, justru itu yang ditutup," katanya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement