Selasa 01 Oct 2019 08:53 WIB

Memetik Hikmah 10 Tahun Gempa Padang

Mitigasi, penyuluhan, pelatihan kebencanaan harus terus dilakukan berkelanjutan.

Warga bersama tokoh masyarakat, melakukan tabur bunga di Monumen Gempa 30 September 2009, di Padang, Sumatera Barat, Ahad (30/9).
Foto: Antara/Iggoy el Fitra
Warga bersama tokoh masyarakat, melakukan tabur bunga di Monumen Gempa 30 September 2009, di Padang, Sumatera Barat, Ahad (30/9).

REPUBLIKA.CO.ID, Sejumlah kalangan memperingati gempa bumi 7,6 skala Richter yang terjadi pada 30 September 2009 silam di Sumatra Barat. Acara tersebut digelar di Tugu Gempa, Padang, Sumatra Barat, Senin (30/9). Pada tahun 2010 lalu, monumen itu dan Museum Gempa Kota Padang resmi dibuka untuk mengenang korban yang meninggal dalam musibah tersebut.

Dalam kesempatan itu, doa bersama digelar masyarakat dan unsur pemerintah daerah setempat. Setelah itu, penaburan bunga dilakukan di sekitar tugu tersebut. Terakhir, panitia acara membunyikan sirene sekitar pukul 17.16 WIB, bertepatan waktunya dengan kejadian gempa bumi pada 30 September satu dasawarsa silam. Suasana menjadi penuh haru.

Baca Juga

Wakil Wali Kota Padang Hendri Septa mengatakan, edukasi kebencanaan mesti terus ditingkatkan. Menurut dia, upaya tersebut penting dilakukan untuk mengurangi risiko jatuhnya korban jiwa ketika bencana besar terjadi.

“Mitigasi, penyuluhan, pelatihan kebencanaan harus terus dilakukan secara berkelanjutan. Peristiwa gempa yang melanda Sumbar (Sumatra Barat) 10 tahun lalu harus menjadi pembelajaran bersama,” ujar Hendri Septa di Tugu Gempa, Padang, Sumatra Barat, Senin.

Dia mengingatkan, musibah gempa bumi pada 2009 lalu mengguncang wilayah pesisir Sumatra Barat. Sebanyak 1.117 orang meninggal dunia akibat bencana tersebut. Selain itu, ribuan orang mengalami luka-luka. Ratusan ribu unit rumah penduduk ikut rusak digoncang gempa yang berpusat sekitar 50 km arah barat laut Kota Padang itu.

Hendri menuturkan, peristiwa tersebut mesti menjadi catatan bersama, termasuk bagi generasi muda yang belum lahir pada 2009. Mereka hendaknya mengetahui bahwa kesadaran akan potensi bencana penting untuk ditanamkan dalam diri.

“Jangan sampai beberapa tahun ke depan, ketika bencana terjadi, mereka pula yang kocar-kacir. Karena itulah, orang tua, masyarakat, serta pemerintah harus berperan dalam memberikan edukasi,” ucap dia.

Hendri mengakui, sebelum tahun 2009 mitigasi dan pengetahuan masyarakat Sumatra Barat tentang kebencanaan cukup minim. Oleh karena itu, hikmah musibah besar tersebut adalah meningatkan kembali seluruh pihak akan pentingnya edukasi kebencanaan.

“Saat ini kami meyakini pengetahuan masyarakat terus membaik dan mengetahui langkah-langkah untuk menyelamatkan diri saat gempat terjadi,” kata dia menegaskan.

photo
Ratusan warga Kota Padang, Sumatra Barat berkumpul untuk memperingati 9 tahun bencana gempa bumi yang terjadi pada 30 Oktober 2009. Dalam acara doa bersama ini, warga juga menyelipkan doa untuk korban gempa di Palu dan Donggala.

Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Padang Edi Hasyimi mengatakan, peristiwa gempa pada 2009 silam sangat mengejutkan. Bahkan, dia mengenang keadaan ibu kota Sumatra Barat kala itu begitu menakutkan.

“Saat itu (masyarakat) belum teredukasi dengan baik tentang bencana sehingga bertebaran isu-isu yang menambah besar ketakutan warga,” ucap Edi.

Belajar dari pengalaman pahit itu, dia melanjutkan, BPBD Padang telah melakukan berbagai program terkait edukasi kebencanaan. Misalnya, sosialisasi penanggulangan bencana kepada keluarga sebanyak 34.500 rumah. Pihaknya menargetkan hingga tahun ini sosialisasi tersebut mencakup sebanyak 250 ribu kepala keluarga (KK) di kota setempat.

Tidak hanya terhadap gempa, kewaspadaan juga perlu ditingkatkan untuk menghadapi kemungkinan tsunami. “Saat ini Padang memiliki 20 sirene peringatan tsunami, alat pendeteksi gempa bekerja sama dengan BMKG (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika) di 90 titik, pemasangan rambu evakuasi sekitar 400 unit, dan lainnya,” kata Edi.

Pakar kebencanaan dari Universitas Andalas (Unand) Dr Badrul Mustafa menilai mitigasi struktural perlu ditingkatkan, khususnya di Sumatra Barat, agar masyarakat setempat lebih siap menghadapi potensi gempa. Kewaspadaan penting karena wilayah provinsi pusat budaya Minangkabau ini tak luput dari ancaman gempa //megathrust//.

“Apalagi, saat ini masih ada ancaman gempa //megathrust// yang bersumber dari segmen Siberut dan belum mengeluarkan energi. Mitigasi struktural penting dilakukan sebagai langkah antisipasi,\" ujar Badrul di Padang, Senin.

Mitigasi struktural berarti memastikan bangunan, terutama yang menjadi tempat berkumpulnya banyak orang, agar tahan gempa. Badrul menilai bangunan yang dibangun setelah gempa pada 2009 silam diasumsikan kondisinya lebih ramah gempa atau memenuhi standar. Pasalnya, sudah ada kepedulian akan pentingnya konstruksi yang kuat.

Namun, dia melanjutkan, bangunan-bangunan yang sudah ada sejak dan bertahan pada musibah 2009 silam perlu diteliti lebih dalam, apakah kekuatan konstruksinya masih layak. Penilaian ulang, kata dia, perlu dilakukan oleh pakar bidang sipil sehingga bisa memetakan bangunan mana saja yang masih aman, perlu diperkuat, hingga mesti dibangun ulang. Selain itu, dia menyarankan pemerintah setempat untuk menambah jumlah lokasi evakuasi sementara (//shelter//) seandainya tsunami datang.

Badrul menilai empat tempat //shelter// tsunami yang ada saat ini di Padang berfungsi kurang maksimal. Pasalnya, keempatnya hanya dikhususkan saat evakuasi tsunami. Dalam keadaan sehari-hari, dia menambahkan, empat fasilitas itu cenderung tidak terpakai. n antara ed: hasanul rizqa

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement