REPUBLIKA.CO.ID, PEKANBARU -- Dokter hewan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Provinsi Riau telah menyingkap penyebab kematian gajah sumatera yang diberi nama Dita. Gajah malang itu tewas akibat infeksi luka pada kakinya yang pernah terkena jerat hingga buntung sebagian.
"Adanya infeksi yang sudah menyebar ke seluruh tubuh melalui telapak kaki gajah di sebelah kiri," kata Dokter Hewan BBKSDA Riau, Rini Deswita dalam pernyataan pers yang diterima Antara di Pekanbaru, Rabu.
Kesimpulan tersebut didapatkan BBKSDA Riau setelah melakukan nekropsi atau bedah bangkai terhadap gajah Dita pada Selasa (8/10). Satwa bernama latin elephas maximus sumatranus liar tersebut ditemukan mati pada 7 Oktober lalu di Suaka Margasatwa Balai Raja Kecamatan Pinggir, Kabupaten Bengkalis.
Tim medis Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau melakukan nekropsi terhadap bangkai gajah liar betina, Dita (25 tahun) yang pada 2014 terkena jerat sehingga kaki depan kirinya buntung, sebelum akhirnya ditemukan mati pada Senin (7/10/2019), di kawasan Suaka Margasatwa (SM) Balai Raja, Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis, Selasa (8/10/2019).
Bangkai gajah betina itu berada di kubangan air dengan isi perut sudah keluar. Diperkirakan gajah itu sudah mati lima hari yang lalu.
Rini menjelaskan, hasil nekropsi menunjukkan tubuh gajah Dita tidak ada tanda-tanda kekerasan maupun keracunan.
"Kesimpulannya Gajah Dita mati karena peradangan di seluruh tubuh yang disebabkan oleh infeksi," ujarnya.
Gajah Dita selama ini menderita karena kaki kiri bagian depan tidak utuh lagi pada bagian tapaknya akibat terkena jerat pada sekitar 2014. Pegiat lingkungan bersama BBKSDA Riau berulangkali mengobati gajah betina tersebut.
Pengobatan terhadap satwa bongsor itu pernah dilakukan pada 2014 hingga 2017. Namun, luka pada gajah berusia 27 tahun itu tidak kunjung sembuh dan menyebabkan kaki kiri Dita buntung.
Lokasi matinya gajah merupakan bagian dari Suaka Margasatwa Balai Raja yang kondisinya banyak beralih fungsi dari hutan menjadi permukiman warga, kantor pemerintahan, dan kebun kelapa sawit. Habitat asli gajah sumatera itu, menurut Rini, sudah tidak lagi berupa hutan.
Rini mengungkapkan, gajah kerap dianggap warga sebagai hama yang merusak kebun kelapa sawit. Luas Balai Raja yang awalnya ditetapkan pemerintah sekitar 18 ribu hektare, kini hanya tersisa sekitar 150 hingga 200 hektare berupa hutan.
Dengan matinya Gajah Dita, populasi gajah sumatera liar di Balai Raja tinggal tujuh ekor berdasarkan data BBKSDA Riau.