REPUBLIKA.CO.ID, WAMENA — Jumlah kembali warga pendatang pengungsi kerusuhan Wamena, masih minim. Dari data teraktual Kodim 1702 Wamena, sampai Ahad (13/10) petang WIT, baru sekitar 450 warga pengungsi yang kembali ke Ibu Kota Jaya Wijaya tersebut.
Padahal, angka eksodus setelah insiden kerusuhan, tercatat sekitar 17.393 orang. Di Wamena sendiri, masih tercatat 1.007 warga yang belum kembali ke rumah masing-masing setelah insiden kerusuhan 23 September.
Aster Kodim Wamena Kapten Afandi menjelaskan, data kembali pengungsi ke Wamena, terakhir tercatat pada Sabtu (12/10). Yakni sekitar 177 warga pengungsi yang kembali ke Wamena, via Jayapura.
“Hari ini (13/10) tidak ada penerbangan (ke Wamena),” kata dia kepada Republika, di Kodim 1702 Wamena, Ahad (13/10). Ia menerangkan, 450 orang pengungsi yang sudah kembali ke Wamena, pun tak seluruhnya memilih kembali ke rumah masing-masing.
Sebab, pendataan yang dilakukan saban hari menunjukkan para pengungsi yang masih merasa cemas dan takut kembali ke rumah masing-masing. Afandi menjelaskan, pengungsi yang kembali ke Wamena, masih ada yang tetap memilih tinggal sementara di pos-pos pengungsian yang ada di Wamena.
Seperti di Makodim 1702, dan di Gedung Tongkonan, posko pengungsian milik rumah adat Toraja yang ada di Wamena. Baru sekitar 419 pengungsi yang memilih kembali ke rumah masing-masing.
Sementara di Makodim 1702 sendiri, kini tercatat 246 warga yang masih berstatus pengungsi. Di Polres Jayawijaya, pun masih tercatat adanya 43 pengungsi. Di Koramil 1702-03 Wamena, juga ada sekitar 20 pengungsi. Adapun di fasilitas publik seperti Gereja LDII tercatat 71 pengungsi, juga di Masjid Pasar Baru sebanyak 22 orang.
Di Gereja Advent dan Gereja El-Shahday masing-masing menampung 42 dan 26 pengungsi. Di Gedung Tongkonan, menjadi lokasi pengungsian terbesar di Wamena, dengan menampung sebanyak 537 pengungsi.
Jumlah pengungsi yang kembali ke Wamena, dan angka pengungsian di Wamena yang juga masih membludak, menandakan situasi keamanan di Ibu Kota Jayawijaya itu belum pulih benar. Apalagi, pada Sabtu (12/10), kembali terjadi pembunuhan dengan penikaman terhadap warga pendatang di kawasan Wouma.
Insiden tersebut, menjadi kasus pembunuhan pertama terhadap warga pendatang yang terjadi setelah kerusuhan 23 September. Kerusuhan 23 September di Wamena, versi resmi otoritas keamanan setempat mengatakan, menelan korban jiwa mencapai 33 orang yang teridentifikasi 25 di antaranya warga pendatang, dan delapan warga asli.
Kerusuhan di Wamena, berawal dari aksi demonstrasi para siswa di kota tersebut, sebagai protes dengan aksi dugaan rasialisme yang dilakukan oleh guru pendatang. Sedangkan jumlah korban versi berbeda dikatakan Dewan Adat Papua (DAP).
Ketua DAP Dominikus Surabut, saat ditemui Republika, mengungkapkan, tercatat 43 orang yang meninggal dunia karena kerusuhan itu. Sebanyak 25 korban dikatakan sebagai pendatang, dan 15 sebagai warga asli. Sedangkan tiga sisanya, kata Surabut belum dipastikan warga lokal, atau perantau.