Jumat 18 Oct 2019 05:00 WIB

Refly: Bagaimana Kalau GBHN Dilanggar Presiden?

Refly menilai dihidupkannya kembali GBHN picu masalah ketatanegaraan.

Rep: Febryan. A/ Red: Teguh Firmansyah
Pengamat Hukum Tata Negara Refly Harun saat diwawancarai di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada Selasa (14/11).
Foto: Republika/Fauziah Mursid
Pengamat Hukum Tata Negara Refly Harun saat diwawancarai di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada Selasa (14/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun menilai, jika Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) kembali dihidupkan, maka akan memunculkan permasalahan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Sebab, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) bukanlah lembaga tertinggi negara.

Refly menjelaskan, sistem ketatanegaraan Indonesia pascaamandemen ke-3 tahun 2001 tidak lagi mengenal lembaga tertinggi negara yang dulunya dipegang MPR. "Tapi kita menganut sistem check and balances.  Ada kesejajaran antara lembaga satu dan lainnya," kata Refly ketika dihubungi Republika dari Jakarta, Kamis (17/10).

Baca Juga

Refly menuturkan, keberadaan GBHN dulunya dibuat oleh MPR sebagai pedoman bagi presiden menjalankan pemerintahan. Sebab, dulu presiden dipilih oleh MPR dan bertanggungjawab kepada MPR. Jika presiden melanggar GBHN, maka bisa dimakzulkan.

"Tapi sekarang MPR itu bukan lembaga tertinggi negara. Kalau misalnya mengintroduksi GBHN, pertanyaannya adalah, apakah kita ingin sistem pemerintahan check and balances kembali ke MPR sebagai lembaga tertinggi?" ujar Dosen Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara itu.

Jika MPR tidak dijadikan lembaga tertinggi negara, lanjut Refly, lantas bagaimana mekanisme penegakkan hukumnya saat GBHN dilanggar oleh presiden. "Padahal kalau tidak ada mekanisme pertanggungjawabannya ya GBHN bakal seperti macan ompong saja," ucapnya.

Refly menambahkan, permasalahan lain yang akan muncul adalah materi GBHN itu sendiri. "Bagaimana kalau kita mau mereview GBHN kalau dianggap bertentangan dengan konstitusi ?" kata Refly lagi.

Oleh karena itu, Refly menilai bahwa rencana menghidupkan GBHN tidak semudah yang dibayangkan. Sebab akan memunculkan masalah paradigmatik dalam sistem ketatanegaraan.

"Mengintroduksi GBHN itu tidak sesederhana yang dibayangkan PDI Perjuangan atau pengusul lainya," kata Refly, tegas.

Sebelumnya, PDIP telah menyatakan keinginan untuk melakukan amandemen UUD 1945 secara terbatas, yakni menambah kewenangan MPR untuk menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).

Ketua Umum Nasdem Surya Paloh dan Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto bersepakat untuk melakukan amandemen UUD 1945 secara menyeluruh.

Artinya, tak hanya soal kewenangan MPR, amandemen juga dimungkinkan membahas hal pokok lain seperti mekanisme pemilihan presiden ataupun masa jabatan presiden.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement