Jumat 18 Oct 2019 05:23 WIB

Ahli: Ada Inkonsistensi dalam Sistem Pemilu Serentak

Indonesia menganut sistem presidensial, tetapi memberlakukan ambang batas presiden.

Direktur Eksekutif SMRC Djayadi Hanan memberikan paparannya pada Rilis Survei Nasional Elektabilitas Capres: Pengalaman Menjelang Hari H (2004-2019) di Jakarta, Ahad (7/10).
Foto: Republika/Mahmud Muhyidin
Direktur Eksekutif SMRC Djayadi Hanan memberikan paparannya pada Rilis Survei Nasional Elektabilitas Capres: Pengalaman Menjelang Hari H (2004-2019) di Jakarta, Ahad (7/10).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Akademisi Universitas Paramadina Djayadi Hanan mengatakan terdapat sejumlah inkonsistensi dalam sistem pemilu serentak yang dipraktikkan di Indonesia saat ini. Inkonsistensi nampak dalam berlakunya ambang batas presiden yang menjadikan pemilu legislatif sebagai prasyarat untuk pemilu eksekutif.

"Ini ada percampuran dengan logika sistem parlementer," ujar Djayadi Hanan yang ditunjuk Mahkamah Konstitusi sebagai ahli dalam sidang uji materi Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU 7 Tahun 2017 itu di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (17/10).

Baca Juga

Dalam logika sistem presidensial, tutur dia, mandat rakyat diberikan secara terpisah langsung kepada legislatif dan kepada eksekutif karena masing-masing independen. Sistem presidensial, dia mengatakan, tidak menghubungkan hasil pemilu legislatif dengan proses dan hasil pemilu presiden.

Hal itu berbeda dengan sistem parlementer, yakni pemberian mandat dari rakyat berlangsung satu arah, dari rakyat ke parlemen, kemudian dari parlemen kepada eksekutif. Sebaliknya, ia mengatakan logika parlementer juga nampak dalam pemilu presiden, yakni partai atau gabungan partai dengan hasil tertentu dalam pemilu legislatif mencalonkan eksekutif.

Inkonsistensi selanjutnya adalah terdapat pencampuran variabel sistem pemerintahan dan bentuk negara dengan asumsi penyertaaan pemilu legislatif daerah sebagai bagian dari pemilu serentak. Dia menyebutkan pemilu eksekutif dan legislatif tingkat nasional merupakan konsekuensi sistem pemerintahan, sedangkan pemilu tingkat lokal merupakan konsekuensi pilihan atas pengelolaan pemerintahan yang dipilih.

"Dengan kata lain, memasukkan pemilu lokal sebagai bagian dari konsistensi pelaksanaan sistem presidensial tidaklah relevan," ucap Djayadi Hanan.

Ia menegaskan pemilu serentak dalam konteks sistem presidensial hanya mencakup pemilu legislatif dan eksekutif tingkat nasional, sedangkan menyertakan atau tidak pemilu lokal sebagai bagian dari keserentakan hanyalah pilihan.

 

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement