REPUBLIKA.CO.ID, BEIRUT -- Yara Kabalan menerima pasokan kopi di tengah protes yang terjadi beberapa hari di Beirut, Lebanon, Selasa (29/10). Dia terpaksa harus membayar lebih mahal dari biasanya untuk mendapatkan pasokan yang datang ke kedainya itu.
Setelah demonstrasi terus berlanjut, tagihan yang datang kepada Kabalan tidak lagi dalam bentuk pound Lebanon, tetapi, dolar AS. Kebijakan pemasok telah berubah pagi itu, dia harus mengeluarkan uang sekitar sembilan persen lebih banyak dalam mata uang lokal berdasarkan nilai tukar dolar AS tidak resmi hari itu.
Kondisi itu dirasakan bisnis Lebanon menyusul ketegangan ekonomi terburuk sejak perang 1975-1990. Warga merasakan kekhawatiran yang terus meningkat akan kekurangan komoditas dan kenaikan harga.
Nilai tukar mata uang Lebanon telah dipatok terhadap dolar AS selama lebih dari dua dekade pada tingkat resmi 1.507,5 per pound Lebanon atas perjanjian dengan bank sentral. Namun, peningkatan tekanan ekonomi dan politik telah membuat dolar AS lebih sulit didapat dan melemahkan pound di pasar uang.
Penukaran uang di jalanan menawarkan harga setinggi 1.850 pada hari Rabu. Sedangkan bank-bank sudah tutup sejak dua pekan lalu dan rencana baru akan buka Jumat ini.
Dalam beberapa hari terakhir, pemasok telur, biskuit, dan alkohol di Kabalan untuk pertama kalinya juga meminta pembayaran dalam dolar AS. Toko-toko dan pemasok di seluruh Beirut melaporkan situasi yang sama.
Sejauh ini, pedagang grosir dan pedagang eceran mengatakan, sebagian besar telah menghadapi kerugian atau menunda pembelian. Cara itu dilakukan untuk menghindari membebani pelanggan lebih banyak dengan kenaikan harga.
"Jika situasinya tetap seperti ini selama seminggu lagi, kami akan tutup. Kami tidak dapat membeli dolar dan pelanggan tidak dapat membayar kami," kata Khaled Sakr, yang perusahaannya menjual bahan pokok seperti minyak goreng dan beras ke pedagang kecil.
Pemasok saat ini pun meminta pembayaran langsung secara tunai daripada memberikan faktur satu atau dua bulanan yang biasa dilakukan. Perekonomian lokal yang mandek dan pelambatan suntikan uang tunai dari Lebanon di luar negeri telah memberikan tekanan pada cadangan mata uang asing bank sentral dalam beberapa tahun terakhir.
Bank sentral mengatakan bulan ini akan memprioritaskan dolar untuk bahan bakar, obat-obatan, dan gandum. Keputusan itu muncul setelah importir mengeluh mereka tidak bisa mendapatkan dolar. Namun, importir mengatakan hingga saat ini keputusan itu belum berlaku dan diperumit dengan adanya penutupan bank.
Beberapa pabrik gandum pun telah menyatakan cadangan mereka hanya akan bertahan selama tiga atau empat pekan. Bachar Boubess dari Modern Mills of Lebanon, mengatakan harga sahamnya menyentuh titik terendah yang pernah dilihatnya. Dia khawatir masalah mata uang terus berlanjut, pemasok mungkin mendapatkan premi risiko yang besar dan kuat pada pengiriman menuju Lebanon, atau berhenti menjual sama sekali.
Juru bicara untuk serikat pompa bensin Lebanon Fadi Abou Chakra mengatakan, tidak ada bahan bakar yang diimpor selama dua pekan. Pompa bensin dibiarkan memiliki cadangan untuk hanya tiga atau empat hari saja, sementara sekitar seperempat dari stasiun sudah ditutup.
Perdana Menteri Lebanon Saad al-Hariri mengumumkan mundur pada hari Selasa, setelah dua pekan protes berjalan. Warga sejak 17 Oktober turun ke jalan memprotes kenaikan pajak, termasuk pemberlakukan pajak untuk panggilan telepon melalui aplikasi berkirim pesan Whatsapp. Tuntutan itu pun meluas menjadi kritik atas pemerintah yang membiarkan perekonomian dan layanan publik yang kacau.