Jumat 08 Nov 2019 01:27 WIB

Kendala Terpidana Mati tak Kunjung Dieksekusi

Hingga Oktober 2019 274 terpidana mati belum dieksekusi jaksa.

Rep: Arif Satrio Nugroho/ Red: Indira Rezkisari
Jaksa Agung ST Burhanuddin
Foto: Antara/Nova Wahyudi
Jaksa Agung ST Burhanuddin

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jaksa Agung ST Burhanuddin memaparkan kendala 'klasik' dalam eksekusi terpidana mati. Ia menyebutkan sejumlah kendala tersebut saat melakoni rapat pertamanya dengan Komisi III DPR RI pada Kamis (7/11).

Salah satu yang menghambat pelaksanaan eksekusi mati, menurut Burhanuddin adalah proses permohonan grasi. Berdasarkan ketentuan UU, permohonan grasi memang tidak menunda pelaksanaan putusan pemidanaan bagi terpidana.

Baca Juga

Namun, dalam hal putusan pidana mati, eksekusi harus menunggu grasi. Sejumlah terpidana mati diketahui tengah mengupayakan grasi tersebut.

Burhanuddin menyoroti perubahan regulasi terkait pengajuan PK maupun grasi yang berbeda antara MK dan MA. Surat edaran Mahkamah Agung nomor 7 menyebutkan bahwa PK hanya diperbolehkan satu kali. Sementara itu, dalam putusan Mahkamah Konstitusi, PK bisa lebih dari satu kali dengan pertimbangan hak asasi manusia.

"Itu akan menjadi sedikit problema bagi kami untuk melaksanakan ekeskusi mati. Karena apa? Para terpidana mati yang sudah PK satu kali harus dipertimbangkan lagi kalau dia mau PK," ujar Burhanuddin.

Kemudian Burhanuddin menjelaskan, pasal 2 ayat dua UU nomor 2 PNPS 1964 tentang tata cara pelaksanaan pidana mati yang dijatuhkan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum dan militer. Pidana mati tidak dapat dilaksanakan ketika ada pelaku lainnya dengan perkara divonis hukuman mati sedang berjuang dalam perkara yang sama melalui upaya hukum banding atau bahkan sampai kasasi.

"Bila ternyata putusan akhir mengubah vonis pidana mati mengingat mereka terlibat dalam perkara yang, sama hanya penuntutannya yang dipisah, tentunya dampak putusan itu pula perhitungan keterkaitan kepada terpidana mati yang sudah terlebih dulu inkrah perkaranya," jelas Burhanuddin.

Burhanuddin menambahkan, pelaksanaan eksekusi pidana mati juga harus mempertimbangkan kondisi kejiwaan terpidana mati. Kejaksaan berpendapat, terpidana mati yang sedang sakit jiwa tidak dapat dilakukan ekeskusi mati.

"Oleh karenanya untuk mencegah adanya kesengajaan menunda eksekusi terpidana mati alasan terpidana mati sakit kejiwaan maka sakit kejiwaan yang diderita terpidana mati dapat ditunda eksekusinya harus dan didukung oleh keterangan medis yang menunjukan bahwa terpidana mati sakit kejiwaanya," ujar Burhanuddin.

Hingga Oktober 2019, berdasarkan data Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), ada 274 orang terpidana mati dan belum dieksekusi oleh jaksa. Mayoritas terpidana mati itu adalah terpidana kasus narkoba.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement