REPUBLIKA.CO.ID, HONG KONG -- Kepala Eksekutif Hong Kong Carrie Lam membuat pernyataan keras terhadap para demonstran yang belum mau menyerah melakukan unjuk rasa. Dia bahkan menilai mereka yang turun ke jalan sudah menjadi musuh rakyat karena menggunakan kekerasan.
"Kekerasan telah jauh melampaui seruan untuk demokrasi dan para demonstran sekarang menjadi musuh rakyat," Lam dalam pidato yang ditayangkan televisi.
Lam pun dengan tegas tidak akan mengabulkan tuntutan politik yang diserukan oleh pengunjuk rasa. Pemerintah Hong Kong tidak akan menyerah, meski kekerasan dilakukan oleh demonstran dan tekanan terus dilakukan.
"Saya membuat pernyataan ini jelas dan keras di sini: itu tidak akan terjadi," kata Lam.
Hampir setiap hari protes terjadi di Hong Kong. China memiliki pertahanan tentara hingga 12 ribu orang di Hong Kong. Mereka telah mempertahankan wilayah di seluruh kerusuhan, tetapi China telah menekankan akan menggagalkan segala upaya untuk Hong Kong merdeka, sebuah permintaan dari sejumlah pengunjuk rasa.
Pemimpin redaksi tabloid Global Times China, yang diterbitkan oleh People's Daily milik pemerintah China, Hu Xijin mengatakan, polisi Hong Kong tidak perlu takut. "Anda mendapat dukungan tidak hanya orang-orang Hong Kong dan China, tetapi juga tentara China dan Tentara Pembebasan Rakyat di Hong Kong. Mereka dapat pergi ke Hong Kong untuk memberikan dukungan kapan saja," katanya.
Pada Senin (11/11), unjuk rasa yang berujung kekerasan pun terjadi lagi di Hong Kong distrik Mong Kok yang berpenduduk padat di semenanjung Kowloon. Polisi menggunakan meriam air dan gas air mata untuk membubarkan pengunjuk rasa yang berkumpul kembali.
Sedangkan demonstran menggali batu bata untuk dilemparkan ke polisi dan memblokir Nathan Road, sebuah jalan arteri utama. Seorang sopir taksi yang mengemudi dekat dengan kerumunan dipukuli.
Polisi mengatakan, lebih dari 120 tempat telah dirusak atau diblokir pada Senin. Sekitar 266 orang telah ditangkap sejak Senin lalu.
Para pengunjuk rasa marah tentang apa yang mereka lihat sebagai kebrutalan polisi dan campur tangan China dalam kebebasan yang dijamin oleh bekas jajahan Inggris dengan formula "satu negara, dua sistem". Sistem ini diterapkan ketika wilayah itu kembali ke pemerintahan China pada 1997. China membantah ikut campur dan telah menyalahkan negara-negara Barat karena menimbulkan masalah.