REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menilai perampasan aset First Travel oleh negara tak tepat. Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi mengatakan, negara bukan pihak yang dirugikan dalam kasus tindak pidana pencucian uang dan penggelapan tersebut.
Menurut dia, seharusnya negara lebih mementingkan kerugian para jamaah calon haji, yang menjadi korban dari biro perjalanan ibadah tersebut. “Negara tak boleh mengambil keuntungan dari kasus First Travel ini,” kata Edwin kepada Republika, Ahad (17/11).
Kata dia, korban First Travel bukan cuma mengalami kerugian materiil. Melainkan, imateril dari kasus tersebut.
“Korban juga mengalami penderitaan psikis akibat terpaan perundungan sosial di lingkungan. Karena gagal umroh atau haji,” sambung Edwin.
LPSK, memberikan sejumlah solusi atau jalan tengah agar keadilan bagi para korban First Travel, terpenuhi. LPSK, kata Edwin menyarankan agar seluruh aset First Travel yang sudah dirampas untuk negara, dikembalikan ke para nasabah yang menjadi korban.
Caranya, kata dia, para nasabah yang menjadi korban tersebut, melayangkan permintaan kepada Kejaksaan Agung (Kejakgung), dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu), agar seluruh aset First Travel yang disita tersebut, dilelang dan hasilnya dikembalikan kepada para nasabah korban. Kedua, opsi konstitusional dengan pengajuan permohonan pengembalian pembayaran atau restitusi kepada pelaku, lewat pengadilan.
Cara kedua memang bakal memakan waktu lama. Karena memerlukan identifikasi, dan verifikasi para korban yang berhak untuk mendapatkan ganti kerugian. Namun, kata Edwin, sebagai lembaga perlindungan saksi, LPSK, kata dia, bersedia menjadi fasilitator dalam usaha mendataan para korban yang berhak mendapatkan ganti kerugian lantaran First Travel.
“LPSK, dapat memfasilitasi ini, bila mana para korban mengajukan permohonan,” kata Edwin. Tetapi, ia pun mengingatkan, pengajuan restitusi ini, menyimpan risiko yang tinggi.
Karena, kata dia, andaikan restitusi dikabulkan pengadilan, tak bisa dipastikan nominal aset akan setara dengan angka yang dibutuhkan untuk memenuhi ganti kerugian para korban. “Bila aset itu dibagikan rata kepada korban, tentu nilainya akan menjadi kecil. Dan belum tentu para korban, akan ikhlas menerima,” sambung Edwin.
Opsi ketiga, LPSK menyarankan kepada negara, agar mengembalikan aset First Travel itu ke tujuan semula. Yakni, peribadatan.
Menurut LPSK, para korban First Travel menanamkan uangnya ke biro perjalanan umrah dan haji itu untuk tujuan ibadah ke Tanah Suci. Namun, kasus pencucian uang dan penggelapan yang dilakukan pemiliknya, membuat tujuan ibadah tersebut, menjadi tak terpenuhi.
Perampasan aset oleh negara, membuat ganti kerugian kepada para korban menjadi sulit. Namun, LPSK menilai para korban dapat meminta kepada negara lewat pengadilan, agar aset yang disita tersebut, digunakan untuk tujuan beribadatan lainnya.
Kata Edwin, seperti membangun rumah-rumah peribadatan, masjid atau mushala ataupun untuk pembangunan sarana pendidikan Islam. “Masjid atau mushala yang dibangun dengan menggunakan aset itu, sepenuhnya atas nama korban yang akan menjadi amal jariyah. Selain itu, masjid dan mushala yang sudah terbangun itu, menjadi monumen bagi masyarakat untuk mengingatkan masyarakat agar tak ada lagi korban yang sama di masa-masa yang akan datang,” ujar Edwin.
Apapun pilihannya, negara harus tetap mendahulukan kepentingan para korban dalam mengeksekusi aset-aset yang disita dari First Travel.