REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kuasa hukum bos First Travel Andika Surachman, Boris Tampubolon, mengaku tak mengetahui secara pasti jumlah awal aset kliennya yang disita oleh negara. Tapi, kata dia, ada aset yang disita tapi tidak masuk ke dalam berkas putusan.
"Untuk detailnya itu masih di kantor. Cuma memang intinya ada yang berkurang. Intinya ada yang disita tapi tidak dimasukkan dalam berkas," tutur Boris kepada Republika.co.id, Senin (18/11).
Menurut Boris, ia baru ditunjuk sebagai kuasa hukum bos First Travel itu belum lama ini untuk melakukan peninjauan kembali (PK). Dalam PK-nya nanti, Boris bersama tim akan membuktikan salah satunya soal aset milik Andika yang sudah diperoleh jauh sebelum kasus First Travel tapi ikut disita untuk kasus tersebut.
"Ada aset yang diperoleh sejak lama itu pun ikut disita. Saya dan tim lebih ke sana sih, ada aset yang tak ada kaitannya dengan tindak pidana tapi ikut disita," ujarnya.
Untuk langkah PK yang akan diambil, Boris mengungkapkan, semua fakta dan bukti baru sudah selesai dikumpulkan. Menurut dia, bukti-bukti tersebut akan membuat terang kasus First Travel, yang ia nilai murni masalah privat atau perdata, bukan pidana.
Sebelumnya, Kepala Kejari Depok Yudi Triadi menjelaskan, dalam tuntutan pada persidangan di PN Depok, jaksa penuntut umum (JPU) sedianya meminta agar barang bukti dikembalikan ke korban melalui Paguyuban Pengurus Pengelola Aset Korban FT. Akan tetapi, putusan PN Depok berbeda dengan tuntutan JPU.
JPU kemudian melayangkan banding pada 15 Agustus 2018. Namun, PN Bandung menguatkan putusan PN Depok. Lalu, JPU melakukan upaya hukum lagi dengan kasasi ke MA. Putusannya, pada 31 Januari 2019 MA menguatkan putusan PN Depok bahwa barang bukti perkara First Travel dirampas oleh negara.
"Jadi, semua perkara pidana FT tersebut sudah berkekuatan hukum tetap atau inkrah, sedangkan masalah perdata gugatan terhadap aset FT masih pending," ujar Yudi.