REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menjelang pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak 2020, wacana pelarangan eks narapidana kasus korupsi kembali mencuat. Rencananya, pelarangan pencalonan itu disebut akan diatur dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU). Namun tidak sedikit para politikus yang tidak setuju dengan wacana tersebut.
Bagi mereka yang tidak setuju adanya larangan tersebut, berdalih bahwa wacana itu bertentangan Hak Asasi Manusia (HAM). "Bertentangan dengan UUD Pasal 28 D dan Pasal 73 UU HAM, karena hal memilih dan pilih termasuk hak politik, maka pembatasan hak asasi harus melalui Undang-undang," ujar Anggota Komisi II DPR RI, Zulfikar Arse Sadikin dalam diskusi dengan tema, Ngeri-ngeri Sedap Larangan Napi Korupsi Maju Pilkada" di Cikini, Jakarta Pusat, Senin (25/11).
Selain itu, Zulfikar, jika melarang napi koruptor lewat PKPU akan bertentangan dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Maka tidak mungkin jika aturan induknya tidak melarang eks napi koruptor untuk maju sebagai calon kepala daerah tapi aturan turunannya (PKPU) melarangnya. Apalagi, PKPU pelarangan eks napi koruptor sudah dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA) beberapa waktu lalu.
"(PKPU) dibatalkan oleh MA dengan alasan materi muatan harus diatur oleh Undang-undang. Karena kalau mau dilarang dalam Undang-undang, maka bertabrakan dengan putusan MK soal ini," terang politikus Golkar ini.
Lanjut Zulfikar, sebenarnya dirinya tidak menentang jika eks napi koruptor dilarang maju ke Pilkada, tapi ia hanya tidak setuju jika dituang dalam PKPU yang bertentangan dengan Undang-undang di atasnya. Bahkan partainya juga menyuarakan agar ada kesadaran etis untuk tidak mencalonkan mantan napi koruptor di Pilkada 2020 mendatang.
"Selain memenuhi syarat etis dan normatif di dalam UU, kita juga ada pakta integritas. Para calon juga akan dibuat pakta integritas," tutur Zulfikar.
Sebelumnya, MA menggugurkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) tentang larangan eks koruptor menjadi calon legislatif (caleg). Putusan itu telah dibacakan MA pada Kamis medio 2018 lalu. MA menegaskan jika aturan yang ada dalam PKPU Nomor 20 Tahun 2018 dan PKPU Nomor 26 Tahun 2018 itu bertentangan dengan UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017.