REPUBLIKA.CO.ID, BOGOTA -- Serikat buruh dan kelompok mahasiswa Kolombia menggelar unjuk rasa untuk menghormati remaja yang tewas terkena tembakan gas air mata dalam demonstrasi pekan lalu. Di saat yang bersamaan, Presiden Ivan Duque mengumumkan perubahan proposal reformasi pajak yang banyak ditentang warga Kolombia.
Unjuk rasa Rabu (27/11) ini diperkirakan akan berlanjut sampai Selasa (3/12). Unjuk rasa diperkirakan berlangsung enam hari berturut-turut setelah pekan lalu Komite Unjuk Rasa Nasional (NSC) Kolombia mengorganisir 250 ribu orang turun ke jalan.
Protes damai besar-besaran ini menarik partisipasi ribuan orang. Mereka menolak reformasi ekonomi, kekerasan polisi, dan korupsi. Dalam pernyataannya pada Selasa (27/11) malam NSC mengatakan akan menuntut 'negosiasi permanen' dengan Duque. Pertemuan itu berlangsung selama dua jam.
Pemimpin unjuk rasa menuntut Duque hanya menemui mereka dan tidak menemui pemimpin bisnis dan sektor lainnya. NSC menuntut pemerintah Kolombia untuk menolak reformasi pajak yang akan memotong kewajiban pengusaha.
Usai berbicara dengan pemimpin unjuk rasa, Duque mengatakan proposal tersebut akan dimodifikasi untuk mengembalikan pajak pertambahan nilai untuk 20 persen warga Kolombia yang paling miskin.
Selain itu ia juga akan menurunkan tagihan jaminan kesehatan bagi pensiunan upah minimum dari 12 persen menjadi empat persen. Setiap tahunnya juga akan ada tiga hari tanpa pajak pertambahan nilai. Pemerintah mengatakan proposal itu akan senilai 3,2 triliyun peso atau 931 juta dolar AS.
Duque membantah mendukung rencana ekonomi yang telah menggerakkan unjuk rasa. Salah satu alasan reformasi ekonomi itu memicu demonstrasi karena ada poin untuk memotong upah minumum untuk pekerja muda.
Pengunjuk rasa juga menyoroti apa yang mereka sebut sebagai sedikitnya tindakan pemerintah untuk menghentikan pembunuhan ratusan aktivis hak asasi manusia. Mereka juga menuntut Duque agar mengimplementasikan sepenuhnya perjanjian damai dengan pemberontak kiri yang ditandatangani tahun 2016.