REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Riset yang dilakukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menggandeng Litbang Kompas menunjukkan 99,5 persen masyarakat ingin pelanggaran HAM berat masa lalu diselesaikan melalui pengadilan, bukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Riset dilakukan pada 23 September-4 Oktober 2019.
Berdasarkan riset itu, sebanyak 62,1 persen responden memilih pengadilan nasional untuk penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, 37,4 persen ingin pengadilan internasional, dan sisanya 0,5 persen lain-lain. "Hentikan menarasikan KKR. Angka 99,5 persen memilih diselesaikan melalui pengadilan. Lebih besar di pengadilan nasional," ujar Komisioner Komnas HAM Choirul Anam di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Rabu.
Ia mengatakan Komnas HAM berkeinginan penyelesaian kasus HAM berat di pengadilan nasional, tetapi apabila komunitas internasional memandang perlu dilakukan di pengadilan internasional, lembaga itu akan menghormati lantaran secara hukum memungkinkan.
Paparan terkait survei penuntasan kasus HAM masa lalu di Jakarta, Rabu (4/12/2019). (ANTARA)
Penyelesaian kasus pelanggaran HAM di pengadilan, menurut dia, juga memungkinkan membuka cerita kebenaran peristiwa yang terjadi puluhan tahun lalu itu. Sementara soal KKR, menurut Anam, saat pelaku mendapat maaf, korban maupun keluarganya belum tentu mendapatkan hak, seperti kompensasi dan pengembalian nama baik.
Kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu yang diriset adalah lima kasus yang dinilai paling menarik perhatian publik dari total sebanyak 12 kasus pelanggaran HAM masa lalu. Kasus-kasus tersebut adalah peristiwa 1965, penembakan misterius 1982-1985, peristiwa Trisakti-Semanggi 1998, penculikan aktivis 1997-1998, dan kerusuhan Mei 1998.