REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemilihan Umum (KPU) menerbitkan peraturan KPU (PKPU) bahwa mantan terpidana kasus korupsi tak dilarang untuk maju dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada). Meski begitu, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) berkomitmen untuk tak mengusung eks koruptor dalam Pilkada.
"PKS punya komitmen kalau misalkan ada calon kepala daerah yang terpidana korupsi tentu kita tidak akan mengusung itu," ujar anggota Fraksi PKS di DPR Nasir Djamil di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (10/12).
Ia menjelaskan, mengusung mantan terpidana kasus korupsi sangat berisiko bagi partai. Karena, citra partai di masyarakat pastinya akan tercoreng jika mengusung mereka. "Sangat berisiko dan tentu ini akan berdampak terhadap citra partai partai politik di tengah masyarakat," ujar Nasir.
Meski begitu, PKPU ini dapat menjadi tantangan tersendiri bagi partai politik. Sebab masyarakat dapat melihat partai mana yang berani mengusung mantan terpidana kasus korupsi.
"Jadi sebenarnya sisi positifnya bahwa kita bisa menguji apakah partai politiik mau dan berani mencalonkan mantan terpidana korupsi," ujar Nasir.
Masyarakat juga menjadi sorotan dalam Pilkada nanti. Karena, masyarakatlah yang menjadi penentu apakah seorang mantan terpidana kasus korupsi dapat menjadi kepala daerah.
"Apakah masyarakat tergoda dan mau memilih calon kepala daerah yang punya track record sebagai mantan terpidana korupsi. Jadi ini sebenernya menarik," ujar anggota Komisi III DPR itu.
Diketahui, berdasarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum atau PKPU Nomor 18 Tahun 2019 yang terbit pada Jumat, 6 Desember 2019, KPU hanya melarang mantan narapidana kasus narkoba dan kejahatan seksual terhadap anak.
Pasal 4 ayat H peraturan itu berbunyi "Bukan Mantan Terpidana bandar narkoba dan bukan Mantan Terpidana kejahatan seksual terhadap anak.”