REPUBLIKA.CO.ID,
Oleh Erdy Nasrul, Dadang Kurnia
Asya Askiya (17 tahun), seorang siswa Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 2 Bogor, punya pelajaran kegemaran. Ia amat suka jika para guru di sekolahnya mengajarkan sejarah Islam. Tak terkecuali, tentang peperangan pada masa lalu serta kerajaan-kerajaan Islam.
Dalam dua materi tersebut, menurut Asya, terdapat pengalaman dan pelajaran yang sangat berharga untuk kehidupan. Dari peperangan, misalkan, kata dia, tersimpan semangat dan kesungguhan untuk mewujudkan kebaikan demi kemaslahatan bersama.
Dengan mempelajari khilafah Islam terdahulu, Asya bisa bangga mengingat peradaban Islam menjadi pintu pengembangan sains dan teknologi yang masih terus berpengaruh hingga saat ini. Sebab itu, ia menyayangkan informasi yang beredar seputar rencana penghapusan materi khilafah dan jihad. “Itu kan termasuk sejarah Islam,” katanya kepada Republika, Selasa (10/12).
Jika materi tersebut dihapus, kata dia, generasi remaja Muslim sukar mendapatkan pengetahuan sejarah secara utuh. “Masa sih kita hanya mengetahui sejarah negara kita, tetapi sejarah agama kita sendiri justru tak tahu sama sekali?” ujar dia mempertanyakan.
Asya menjelaskan, sejarah kejayaan Islam merupakan alasan yang mendorongnya untuk belajar di MAN 2 Bogor. Menurut dia, tarikh Islam yang syamil (komprehensif) merupakan kunci untuk membangun negeri ini. Karena, semangat Islam mendukung kebebasan dan kecintaan pada ilmu pengetahuan.
Ia juga mengklaim, pelajaran soal khilafah dan peperangan zaman Nabi Muhammad dan para sahabat tak membuatnya membatasi pergaulan. Ia bahkan merasa nyaman bergaul dengan mereka yang berbeda pandangan dan keyakinan. “Itu karena saya mempelajari Islam, termasuk sejarahnya dengan utuh,” kata Asya percaya diri.
Hal senada disampaikan Amaluddin, santri asal Gresik di Ponpes Bahrul Ulum, Tambak Beras, Kabupaten Jombang. Amaluddin menilai, rencana penghapusan kurikulum madrasah yang mengandung konten khilafah dan jihad oleh Kementerian Agama sama saja dengan menyembunyikan sejarah. Karena, menurut dia, sejarah perkembangan agama Islam tidak akan lepas dari jihad yang dilakukan Rasulullah SAW dan para khalifah setelahnya.
"Jelas saya tidak setuju. Karena, khilafah dan jihad itu sejarah. Sejarah itu penting diketahui umat Islam. Kalau itu dihapus, seakan-akan pemerintah menyembunyikan sejarah perjuangan Rasulullah SAW," ujarnya kepada Republika, Selasa (10/12).
Amaluddin juga mempertanyakan tujuan Kementerian Agama menghapus kurikulum tentang khilafah dan jihad tersebut. Menurut dia, jika penghapusan yang dilakukan berdalih untuk mencegah tindakan radikalisme, juga keliru. Karena tidak ada bukti, pelaku tindakan radikal tersebut adalah orang-orang yang pernah mengenyam pendidikan di madrasah, apalagi pesantren.
"Ya, lihat saja. Emangnya mereka yang berbuat radikal itu yang pernah belajar tentang khilafah dan jihad di madrasah atau pesantren? Kan enggak juga. Janganlah itu dihapus. Nanti malah menghapus sejarah penting tentang perkembangan Islam," kata dia.
Amaluddin tidak memungkiri adanya pihak-pihak tertentu yang memanfaatkan islilah khilafah dan jihad untuk membuat kekacauan, bahkan menebar teror. Namun, ia berkeras tidak perlu menghapuskan sejarah tentang khilafah dan jihad pada zaman dahulu.
Menurut dia, kalaupun ada yang perlu diluruskan adalah perihal metode pembelajaran terkait sejarah dimaksud. "Tidak perlu mengubah sejarah. Dihapus pun tidak menjamin menghilangkan tindakan radikal di negeri ini. Harusnya pemerintah hanya mengubah metode belajarnya supaya tidak disalahartikan (soal khilafah dan jihad)," ujar dia mengusulkan.
Santri di Ponpes Miftahul Hikmah, Kabupaten Mojokerto, Maulana Syarifudin, juga tidak sepakat dengan penghapusan kurikulum terkait khilafah dan jihad tersebut. Menurut dia, untuk memerangi tindakan radikalisme, seharusnya malah porsi pembelajaran tentang khilafah dan jihad diperbanyak.
Dengan begitu, pemahaman yang dimiliki siswa madrasah ataupun santri lebih jelas. Ia menambahkan, tindakan radikalisme bisa muncul akibat kedangkalan pengetahuan tentang khilafah maupun jihad.
"Sangat tidak tepat. Justru, untuk menghapus radikalisme itu mestinya dengan menambah porsi pembelajaran tentang khilafah dan jihad. Karena, tindakan radikalisme itu muncul biasanya karena kedangkalan pengetahuan tentang khilafah dan jihad itu sendiri," kata Maulana.
Maulana berpendapat, sejarah Islam tidak akan bisa lepas dari khilafah dan jihad. Karena, itu merupakan bagian dari perkembangan Islam di dunia ini. Justru, seharusnya sejarah terkait agama Islam harus diberikan kepada para siswa sejak dini. "Karena kan kalau sudah usia tua, biasanya sulit mencernanya," ujar Maulana.
Mari kita meluruskan makna jihad, ilustrasi
Tidak radikal
Santri Pondok Pesantren Mambaus Sholihin, Suci, Manyar, Kabupaten Gresik, Syamsul Arifin, juga menegaskan ketidaksetujuannya atas penghapusan kurikulum khilafah dan jihad di madrasah. Menurut dia, penghapusan kurikulum tersebut akan mencitrakan khilafah atau jihad itu buruk.
"Jangan menutup sejarah. Sejarah Islam itu erat kaitannya dengan khilafah, dengan jihad. Penghapusan akan mencitrakan keduanya jelek," kata Syamsul.
Pemuda kelahiran Surabaya tersebut menegaskan, khilafah dan jihad tidak mesti berkaitan dengan paham radikal atau kekacauan. Menurut dia, radikalisme hanya paham dari kelompok-kelompok tertentu yang memang dibentuk untuk membuat kekacauan.
Belum tentu juga, mereka yang berpaham radikal adalah lulusan madrasah atau pesantren yang notabene pernah belajar khilafah atau jihad. "Radikal itu paham, belum tentu juga berkaitan dengan kurikulum khilafah atau jihad. Metodenya saja dibetulkan, beri pemahaman yang lebih jelas soal khilafah dan jihad. Jangan malah menghapus sejarah," kata Syamsul.
Rencana penghapusan materi khilafah dan peperangan dalam sejarah Islam sedianya sudah diwacanakan sejak masa Lukman Hakim Saifuddin menjabat sebagai menteri agama. Pada Agustus lalu, hal tersebut diresmikan dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 183 Tahun 2019 tentang Kurikulum PAI dan Bahasa Arab pada Madrasah.
Regulasi itu kemudian dijadikan dasar menghapus sejumlah soal-soal ujian madrasah aliyah yang menyebut kata-kata khilafah dan jihad di Kediri, Jawa Timur. Direktur Kurikulum, Sarana, Kelembagaan, dan Kesiswaan (KSKK) Madrasah Ahmad Umar yang mengeluarkan surat itu menuturkan, surat itu khusus berlaku di Kediri. Meski dalam redaksional surat itu, sama sekali tak disebut khusus untuk kantor Kemenag Jawa Timur ataupun Kediri.
Belakangan, Menag Fachrul Razi berdalih bahwa tak ada pencabutan materi khilafah dan jihad dari kurikulum madrasah. Menurut dia, yang dilakukan adalah memindahkan materi itu dari mata pelajarah fikih ke sejarah kebudayaan Islam.
Konteksnya juga bukan soal ideologi, melainkan sejarah pemerintahan pada masa Rasulullah SAW, Khulafaur Rasyidin, serta kerajaan-kerajaan Islam. Kurikulum akan menekankan capaian ekonomi dan ilmu pengetahuan masing-masing pemerintahan. "Jadi, untuk anak-anak biar nggak bingung, di sejarah Islam aja. Takutnya anak-anak masih rancu bila ditaruh di materi fikih," kata Menag, seperti dilansir kemenag.go.id, kemarin. n ed: fitriyan zamzami