REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Agama Fachrul Razi mengatakan telah mendengar penolakan berbagai kalangan terkait kebijakan penghapusan materi soal khilafah, perang, dan jihad dari kurikulum dan ujian di madrasah yang dikeluarkan kementeriannya. Terkait hal itu, ia mengatakan, persoalan tersebut akan dibahas kembali.
Ia mengindikasikan, persoalan khilafah dan perang yang diajarkan di kurikulum terdahulu sebenarnya tak bermasalah. Kendati demikian, ada pengajar yang menyimpangkan materi tersebut.
“(Soal khilafah) di sejarah Islam kan itu ada. Pengalaman lalu, ndak tahu kesalahannya di mana, yang pengajarnya justru yang menyimpang ke mana-mana, mengampanyekan khilafah. Kalau di sejarah Islam, kan pasti ada," ujar Fachrul di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Senin (9/12).
Oleh karena itu, ia menyatakan, kemungkinan kebijakan dibicarakan kembali. “Nanti dibahas,” kata dia. Namun demikian, Kemenag tetap akan mempertimbangkan untuk membatasi kemungkinan khilafah, jihad, dan perang disalahgunakan, baik dari materi maupun pengajar. "Dua-dua, materinya juga kita waspadai, dikasih batasnya supaya enggak ngembang ke mana-mana, pengajarnya juga," ujar dia.
Sebelumnya, Kementerian Agama melalui surat edaran tertanggal 4 Desember memerintahkan Kepala Bidang Pendidikan Madrasah/Pendidikan Islam mengimplementasikan KMA Nomor 183 Tahun 2019. Salah satunya, seluruh materi ujian di madrasah yang mengandung konten khilafah dan perang atau jihad telah diperintahkan untuk ditarik dan diganti.
Kebijakan itu dilakukan setelah sejumlah soal ujian yang mengandung pertanyaan soal khilafah muncul dalam soal ujian madrasah aliyah di Kediri, Jawa Timur. Penghilangan materi khilafah dan jihad sesuai ketentuan regulasi penilaian yang diatur pada SK Dirjen Pendidikan Islam Nomor 3751, Nomor 5162, dan Nomor 5161 Tahun 2018 tentang Juknis Penilaian Hasil Belajar pada MA, MTs, dan MI. Kementerian Agama (Kemenag) menginginkan materi ujian di madrasah lebih mengedepankan kedamaian, keutuhan, dan toleransi.
Surat yang menginstruksikan hal tersebut dikeluarkan Direktur Kurikulum, Sarana, Kelembagaan, dan Kesiswaan (KSKK) Madrasah pada Kementerian Agama (Kemenag), Ahmad Umar. Surat itu juga ditujukan untuk “Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi” tanpa secara spesifik merujuk kantor wilayah tertentu.
“Seluruh materi ujian di madrasah yang mengandung konten khilafah dan jihad telah diperintahkan untuk ditarik dan diganti sesuai ketentuan regulasi penilaian yang diatur pada SK Dirjen Pendidikan Islam Nomor 3751, Nomor 5162, dan Nomor 5161 Tahun 2018 tentang Juknis Penilaian Hasil Belajar pada MA, MTs, dan MI,” tertulis dalam poin ketiga surat tersebut.
Ketika dihubungi Republika akhir pekan lalu, Umar tak menyangkal surat tersebut. Ia menambahkan, yang dihilangkan bukan hanya materi khilafah dan perang. Setiap materi yang berbau kekanan-kananan atau kekiri-kirian juga dihilangkan. Saat kembali dihubungi kemarin, Umar mengatakan, surat itu khusus untuk kasus di Kediri saja. “Yang dihapus dalam surat itu adalah materi ujian yang kemarin sedang bermasalah tentang khilafah dan jihad,” kata dia, kemarin.
Ia juga mengatakan, Kemenag bukan menghapus materi khilafah dan jihad dari pelajaran. Sebab, materi khilafah dan jihad yang tercantum dalam KMA 165 Tahun 2014 itu dinyatakan tidak berlaku dan telah diperbaiki dalam KMA 183 Tahun 2019. "Iya (tidak akan mencabut materi khilafah), tapi dicabut dari PMA yang lama yang tidak relevan, lalu di PMA yang baru dia dipindahkan bahasannya dari fikih menjadi mapel SKI," ujar Umar.
Dengan dimasukkannya ke mata pelajaran SKI (sejarah kebudayaan Islam), menurut dia, materi tentang khilafah akan dijelaskan oleh guru madrasah dengan menggunakan pendekatan sejarah. "Ini supaya substansi kontennya itu tetap ada tapi dengan pendekatan cara yang lain yang relevan, pendekatan sejarah," ucap Umar.
Artinya, konteks pembicaraannya bukan sekadar khilafah, namun tentang perkembangan peradaban pada zaman Daulah Utsmaniyah dan Abbasiyah. Di sana dijelaskan diperjuangkan peradaban Islam termasuk sampai perjuangan kehidupan pada masa-masa Khulafaur Rasyidin. Selain itu, pengertian khilafah dalam kurikulum baru diperbaiki supaya tidak multitafsir.
"Kata (pengertian) khilafah itu diperbaiki dengan perkembangan kehidupan peradaban manusia pada Daulah Utsmaniyah dan Abbasiyah, dan perkembangan dari zaman kepemimpinan Rasul sampai Khulafaur Rasyidin sampai ulama-ulama masa kini," ungkap Umar.
Seturut penelusuran Republika, dalam KMA 183 Tahun 2019 memang masih disinggung soal kerajaan-kerajaan Islam terdahulu. Kendati demikian, yang diajarkan bukan soal penaklukan, melainkan capaian ekonomi, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan masing-masing kerajaan, seperti Umayyah, Abbasiyah, Ayubiyah, hingga Turki Utsmani.
Dalam salinan KMA 183/2019 yang dikeluarkan pada masa jabatan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin memang sama sekali tak terdapat kata “khilafah” maupun “jihad”. Tak ada juga kata “perang” atau yang dalam bahasa Arabnya “gazwah”. Sebaliknya, moderasi menjadi tujuan pembelajaran di berbagai tingkatan.
Konteks khilafah
Kasubdit Kurikulum Kemenag Ahmad Hidayat berdalih, kata khilafah sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Artinya, hal tentang khilafah akan disampaikan dengan konteks bahasa Indonesia. Sementara, kata jihad masih ada dalam kurikulum dan buku pelajaran tapi sudah diberi penjelasan.
"Bahwa jihad itu diwujudkan dalam konteks keseriusan dalam berjuang. Dalam konteks umumnya jihad juga kita perjelas bahwa jihad yang dimaksud itu perjuangan, bukan perang," ujarnya.
Ia menyampaikan, sejarah tentang jihad perang masih ada. Namun, cerita jihad dalam bentuk lain diperbanyak. Kesimpulannya, jihad itu tidak hanya semata-mata perang. Materi jihad dalam mata pelajaran fikih, menurut dia, masih ada, tapi dalam konteks pembicaraan inti nilainya, yaitu berusaha bersungguh-sungguh di dalam menuntaskan semua aktivitas kehidupan.
Sedangkan, di dalam sejarah kebudayaan Islam, jihad otomatis terbahas di dalam perkembangan-perkembangan kebudayaan peradaban Islam. "Jihad itu diwujudkan dalam bentuk bervariasi, tidak hanya harus perang, tapi diwujudkan dalam bentuk perjuangan optimalisasi berpikir pada masa abad pertengahan," kata dia. nFauziah Mursid, Fuji E Permana ed: fitriyan zamzami