REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Pidana Abdul Fickar Hadjar menilai sikap Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait hukuman mati untuk para pelaku korupsi adalah ambigu. Jokowi telah membuka peluang untuk penerapan hukuman mati kepada koruptor, tapi di sisi lain dia juga memberikan grasi pada terpidana kasus korupsi.
"Ini sikap yang ambivalen dan ambigu, tidak jelas arahnya. Jangan-jangan komitmen terhadap pemberantasan korupsi pun begitu, buktinya Pak Jokowi setuju Undang-undang KPK direvidi dan KPK dilemahkan," kritik Fickar saat Dihubungi Republika.co.id, Rabu (11/12).
Selain itu, kata Fickar, hukuman mati yang diwacanakan Jokowi sudah diatur dalam Undang-undang Korupsi. Hukuman itu merupakan konsekuensi dari gambaran berat dan parahnya tindakan korupsi seseorang. Di antaranya harus memenuhi unsur kondisi tertentu, seperti residivis, bencana alam atau keadaan perang dan kondisi-kondisi ini jarang ditemui.
"Hukuman mati tidak menjamin terjadinya penjeraan pada para pelaku korupsi. Karena itu lebih manusiawi jika diterapkan hukuman seumur hidup. Bukti lainya hukuman mati narkoba tidak menyurutkan pelakunya," jelas Fickar.
Fickar melanjutkan, bagi tindak pidana korupsi itu seharusnya pendekatannya lebih pada asset recovery. Bagaimana mengambil harta koruptor sebanyak-banyaknya atau memiskinkan koruptor. Maka dengan pendekatan pengambilalihan ases, semua akses napi koruptor terhadap dunia ekonomi harus ditutup agar jera.
"Bahkan, koruptor tidak boleh memiliki perusahaan, tidak boleh mempunyai kartu kredit, serta tidak boleh pimpinan perusahaan, dicabut hak politiknya. Ini akan lebih menjerakan ketimbang hukuman mati. Dalam diksi populer disebut pemiskinan koruptor," tegas Fickar.