REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo mempertimbangkan untuk memberlakukan hukuman mati jika memang rakyat menghendaki. Pernyataan Jokowi disampaikan saat peringatan Hari Antikorupsi se-Dunia beberapa waktu lalu.
Menurut peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, UU telah mengatur hukuman mati kepada para koruptor. Yakni diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
"Jadi pernyataan Presiden yang menyebutkan mesti merevisi UU Tipikor atau jika rakyat berkehendak untuk hukuman mati koruptor itu keliru besar," ungkap Kurnia saat dihubungi Republika, Rabu (11/12).
Kendati demikian, lanjut Kurnia, ICW tidak menghendaki hukuman mati kepada para koruptor. Dalam sudut pandang ICW, masih ada jenis hukuman lain yang lebih ampuh membuat jera daripada menjatuhkan vonis mati .
"ICW tidak sependapat dengan konsep hukuman mati, karena masih banyak cara untuk memberikan efek jera pada pelaku korupsi. Misalnya, memiskinkan koruptor, memberikan vonis penjara maksimal, pencabutan hak politik, dan lain-lain," ujarnya.
Mengapa koruptor masih bertebaran? menurut Kurnia, hal ini menggambarkan bahwa peradilan kepada terpidana korupsi masih jauh dari harapan membuat mereka jera. Alasannya, banyak dari para pelaku yang hanya mendapatkan hukuman dua tahun penjara.
"Rata-rata vonis pengadilan tipikor pada tahun 2018 lalu saja hanya 2 tahun 5 bulan penjara. Pencabutan hak politik pun sama, masih banyak Jaksa ataupun Hakim yang tidak memanfaatkan aturan ini secara maksimal," terangnya.
Sebenarnya kata dia, isu besar terkait pemberantasan korupsi saat ini bukan tentang pemberian hukuman mati. Namun bagaimana negara bisa memastikan masa depan pemberantasan korupsi akan lebih cerah.
"Kami meyakini bahwa hal ini hanya bisa tercapai jika Presiden Joko Widodo menerbitkan Perppu UU KPK. Sebab, bagaimana mungkin pemberantasan korupsi akan berjalan dengan lancar jika lembaga yang selama ini menjadi leading sector (KPK) sudah mati suri sejak UU KPK baru berlaku," tegasnya.