REPUBLIKA.CO.ID, KHARTOUM— Satu pengadilan Sudan pada Sabtu (14/12) memvonis mantan presiden Omar al-Bashir atas tuntutan korupsi dan menghukumnya dua tahun penjara di satu instalasi untuk memperbaiki diri, putusan pertama terhadap mantan pemimpin yang digulingkan kerusuhan massa tersebut.
Hakim ketua mengatakan, al-Bashir (75), yang digulingkan oleh militer pada April, setelah berbulan-bulan protes jalanan terhadap tiga dasawarsa kekuasaannya, akan dikirim ke instalasi untuk memperbaiki diri, dan bukan ke penjara, sehubungan dengan usianya.
Di juga memerintahkan penyitaan jutaan euro dan pound Sudan yang ditemukan di kediaman al-Bashir ketika dia digulingkan, kata Reuters, yang dipantau Antara di Jakarta, Sabtu.
Penghukuman al-Bashir adalah ujian mengenai seberapa cepat dan seberapa jauh pemerintah sipil dan militer yang sekarang berbagi kekuasaan di Sudan akan bertindak untuk mengubah warisannya.
Sebelum putusan Sabtu, ratusan pendukung mantan presiden tersebut berkumpul di jalan-jalan di dekat istana presiden di Ibu Kota Sudan, Khartoum.
Kendaraan militer dan tentara dikerahkan di daerah itu, untuk menghalangi akses ke istana dan Kementerian Pertahanan, dan ada banyak personel keamanan di pengadilan.
Al-Bashir juga dicari Mahkamah Pidana Internasional (ICC), yang mengeluarkan surat penangkapan terhadap dia pada 2009 dan 2010 dengan tuduhan pemusnahan suku, kejahatan perang, dan kejahatan umat manusia di Darfur, wilayah Sudan yang bergolak.
Dengan berpakaian jubah putih tradisional dan sorban, Al-Bashir menyaksikan tanpa bersuara dari dalam kurungan logam buat terdakwa saat hakim, As-Sadiq Abdelrahman, membacakan putusan pada Sabtu.
"Terpidana, Omar Al-Bashir, diserahkan ke instalasi perbaikan sosial untuk selama dua tahun. Jumlah mata uang nasional dan asing yang ditemukan disita," kata Abdelrahman.
Pengacara pembela Al-Bashir, Ahmed Ibrahim At-Tahir, mengatakan ia akan mengajukan banding. "Hakim membuat putusan berdasarkan motif politif, tapi meskipun begitu kami masih memiliki keyakinan pada sistem pengadilan di Sudan," kata At-Tahir kepada wartawan.