REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Maarif Institute sudah satu pekan menyelenggarakan SKK-ASM III (Sekolah Kebudayaan dan Kemanusiaan Ahmad Syafii Maarif), sejak dibuka pada 13 Desember 2019. Menariknya, Selasa (17/12), SKK berlangsung di Yayasan Buddha Tzu Chi, Jakarta Utara.
Buddha Tzu Chi atau Tzu Chi adalah sebuah yayasan kemanusiaan yang didirikan oleh Master Cheng Yen tahun 1966 di Hualien Taiwan. Sampai sekarang yayasan ini telah terdaftar di PBB sebagai NGO dan memiliki 372 kantor di 54 negara seluruh dunia.
Yayasan Tzu Chi sendiri, di Indonesia sejak tahun 1993 telah memiliki kantor penghubung di 18 daerah berbeda. Kegiatan kemanusiaan Tzu Chi berawal dari Master Cheng Yen dan lima muridnya yang setiap hari merajut kaos kaki bayi serta membuat celengan bambu untuk para ibu-ibu yang menjadi pengikutnya.
"Tzu Chi bisa menyebar ke seluruh dunia karena banyak sekali orang-orang yang terharu ketika melihat seorang biksuni bekerja keras menghidupi diri dan menolak pemberian orang lain," ungkap Suriadi, Head of Secretariat Tzu Chi Center di Jakarta Utara seperti dikutip dalam rilis yang diterima Republika.co.id.
Bermula dari lima orang perempuan yang menjadi pengikutnya, 50 orang ibu lainnya kemudian mengikuti. Master meminta agar mereka mandiri dan sudi berbagai dengan cara menyisihkan 50 sen uang belanja setiap hari untuk dimasukkan ke celengan bambu yang dibuatnya. Sejak itulah visi kemanusiaan Tzu Chi lahir.
Menyucikan hati, mewujudkan masyarakat aman-tenteram, dan dunia terbebas dari bencana, menjadi visi yang selalu berusaha dicapai melalui empat misi utama Tzu Chi. Misi amal, kesehatan, pendidikan, dan budaya humanis, terus diupayakan terwujud dengan landasan cinta kasih ke seluruh dunia.
Para peserta Sekolah Kebudayaan dan Kemanusiaan Ahmad Syafii Maarif (SKK-ASM) III berfoto bersama di Yayasan Tzu Chi Indonesia, Jakarta.
Mengetahui betapa menariknya Tzu Chi, para peserta SKK-ASM III terus berdiskusi terkait agenda-agenda kemanusiaan dan kebudayaan. Tidak terkecuali Direktur Eksekutif Maarif Institute, Abdul Rohim.
"Ini pertama kalinya Maarif Institute kerja sama dengan Tzu Chi Indonesia. Terkejut saat mengetahui Master Cheng Yen yang ternyata sebaya dengan Buya Syafii Maarif (pendiri Maarif Institute, Red) dan mempunyai visi kemanusiaan yang sama tingginya. Semoga ke depan ada peluang untuk mempertemukan dua tokoh besar ini," ungkap Abdul Rohim yang disambut antusiasme semua yang hadir.
Buddha Tzu Chi sebenarnya menerima kunjungan umum. Namun, hal itu hanya bisa dilakukan pada hari Jumat dan Sabtu saja. "Banyak faktornya, diantaranya kita juga fokus mengerjakan program-program lain. Untuk Maarif, kita sangat membuka diri," tutur seorang guide yang mengarahkan perjalanan selama tour di bangunan seluas 10 hektar itu.
Para peserta berjalan mengelilingi setiap lantai dari mulai satu sampai empat. Setiap ruangan dari mulai aula pertemuan, galeri dokumentasi program kemanusiaan yang sangat menggugah, sampai aula tempat pembacaan dan pengajaran dharma yang sangat megah. "Yayasan ini tidak berorientasi agama, tapi kemanusiaan dan cinta kasih. Bagi kami semua orang, siapapun bisa menjadi Buddha tanpa harus pindah atau mengubah agamanya. Itulah juga kenapa banyak relawan Tzu Chi yang Muslim, banyak sekali," kata Suriadi.
Baru kemudian, fase terakhir disiapkan hidangan vegetarian. Uniknya, di akhir sesi makan siang, pihak Tzu Chi dengan permintaan mencuci piring dan alat makan lain sendiri, membuat beberapa orang merasa aneh meski kemudian antusias. "Berbuat kebajikan harus dilakukan setiap hari, begitu kata Master kami melalui perenungannya," kata Suriadi dan tim guide kepada semua peserta SKK-ASM III, dengan sangat ramah.
Abdul Rohim mengatakan, sikap terbuka, baik dari Maarif maupun Tzu Chi, untuk terjalinnya sebuah kerja sama ("jalinan jodoh" adalah istilah mereka untuk menyebut silaturahim) kepada siapa saja merupakan oleh-oleh tersendiri. memiliki sumber inspirasi yang berbeda, yakni Maarif dari Islam dan Tzu Chi dari Buddha, tidak menjadikan keduanya lantas menaruh sikap saling curiga.