REPUBLIKA.CO.ID, NEW DELHI -- Perdana Menteri India Narendra Modi bertemu dengan dewan menteri pada Sabtu (21/12). Pertemuan itu dilakukan untuk membahas langkah-langkah keamanan dalam mengakhiri protes terhadap pengesahan Undang-Undang Kewarganegaraan yang diliputi kekerasan.
Setelah pengesahan pada 11 Desember, demonstrasi terus berkembang dan semakin besar. Setidaknya 14 orang tewas dalam bentrokan antara polisi dan pengunjuk rasa.
Dengan sah peraturan itu, para kritikus mengatakan keputusan sangat mendiskriminasi umat Islam dan merusak konstitusi sekuler India. Reaksi ini merupakan perbedaan pendapat yang paling kuat terhadap pemerintah Modi sejak pertama kali terpilih pada 2014.
Negara bagian terpadat di India, Uttar Pradesh, telah menyaksikan kekerasan terburuk dengan sembilan orang tewas sejauh ini. Sedangkan beberapa lainnya dalam kondisi kritis di rumah sakit.
Aktivis hak asasi manusia di Uttar Pradesh mengatakan polisi telah menggerebek rumah dan kantor untuk mencegah perencanaan demonstrasi baru. Pihak berwenang juga menutup sekolah di seluruh negara bagian saat protes baru meletus pada Sabtu.
Uttar Pradesh diperintah oleh partai nasionalis Modi dan telah lama menyaksikan bentrokan antara mayoritas Hindu dan Muslim minoritas. Di ibu kota Delhi, anggota keluarga menunggu di luar kantor polisi untuk mencari pembebasan puluhan demonstran yang ditahan.
Lebih banyak demonstrasi direncanakan di beberapa bagian negara itu, termasuk di negara bagian Assam di timur laut. Wilayah tersebut sejak awal telah menolak karena undang-undang lebih mudah bagi migran non-Muslim dari Afghanistan, Bangladesh, dan Pakistan yang menetap di India sebelum 2015 untuk mendapatkan kewarganegaraan.
Kebencian terhadap imigran ilegal dari Bangladesh telah membara selama bertahun-tahun di Assam. Wilayah itu salah satu negara termiskin di India yang menjadi tempat orang luar, Hindu atau Muslim, dituduh mencuri pekerjaan dan tanah.
"Ribuan wanita berpartisipasi dalam protes di Assam. Gerakan menentang tindakan ini mendapatkan momentum dari hari ke hari," kata pemimpin Serikat Siswa Assam Sammujal Bhattacharya.
Di bagian lain India, kemarahan terhadap undang-undang berasal dari diskriminasi terhadap Muslim. "Sepotong undang-undang ini menyerang jantung Konstitusi, berusaha menjadikan India negara lain," tulis sejarawan terkemuka Ramachandra Guha dalam sebuah surat kabar India The Telegraph.
Oposisi politik yang menjadi pemimpin negara bagian dari partai-partai regional bersumpah untuk mencegah penerapan peraturan di wilayah mereka. Meski begitu, Pemerintah India telah mengatakan tidak ada kemungkinan pencabutan hukum yang sudah disahkan tersebut.