REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejak masa nenek moyang nusantara, ajaran spiritualitas keagamaan yang beragam di baik Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha berakar pada satu landasan etik toleransi. Namun saat ini ada kelompok-kelompok yang berusaha untuk merusak toleransi tersebut dengan menolak perayaan keagaaman lain. Padahal toleransi merupakan watak dan karakter asli bangsa indonesia sejak dulu yang merupakan kerangka persatuan.
Staf Khusus Dewan Pengarah Badan Pembinaan Idelogi Pancasila (BPIP), Romo Benny Susetyo mengatakan bahwa sebenarnya masyarakat Indonesia ini sudah melaksanakan toleransi dalam kehidupan sehari-harinya.
“Sudah ratusan bangsa kita hidup dalam persaudaraan sejati, yaitu bekerja sama meskipun berbeda keyakinan karena hidup dalam kultur yang disebut gotong royong. Sehingga ketika ada perayaan hari besar keagamaan, di daerah-daerah pedesaan itu sudah biasa mereka saling membantu, ikut menghiasi atau saling menjaga. Itulah tradisi kita yang sebenarnya dan sudah terjadi,” ujar Romo Benny Susetyo di Jakarta, Selasa (24/12).
Pria yang juga anggota Gerakan Suluh Kebangsaan ini juga menuturkan bahwa jika kemudian terdapat perbedaan-perbedaan di masyarakat seharusnya hal tersebut dapat diselesaikan bersama dengan prinsip musyawarah mufakat yang sudah menjadi ciri khas perdaban masyarakat bangsa ini sejak lama.
“Memang ada sebagian kecil masyarakat kita yang intoleran, tetapi intoleran itu kan hampir semua negara mengalami intoleran itu. Jadi kalau misalnya ada pelarangan ibadah dan lainnya perlu ada musyawarah mufakat untuk diberi pengertian dan penjalasan bahwa pelarangan ibadah itu tidak dibenarkan karena ibadah setiap agama itu dijamin oleh konstitusi,” tuturnya.
Karena itu, menurutnya perlu ada penguatan kultur kebangsaan yang ada di masyarakat untuk memperkuat toleransi antar sesama anak bangsa. Dan untuk memperkuat toleransi antar umat bangsa ini tentunya harus kembali lagi kepada kearifan lokal yang kita miliki misalnya seperti budaya kerja bakti, silaturahmi dan saling mengunjungi.