Selasa 31 Dec 2019 05:10 WIB

Cara Berdagang Rasulullah

Rasulullah sangat mengikuti prinsip-prinsip perdagangan yang adil dalam transaksinya.

Rep: Imas Damayanti/ Red: Ani Nursalikah
Cara Berdagang Rasulullah. Seorang penjual memasarkan jilbabnya menggunakan media sosial ketika berdagang di tokonya, di Pasar Pabean, Surabaya, Jawa Timur.
Foto: Antara/Zabur Karuru
Cara Berdagang Rasulullah. Seorang penjual memasarkan jilbabnya menggunakan media sosial ketika berdagang di tokonya, di Pasar Pabean, Surabaya, Jawa Timur.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tata niaga atau perdagangan merupakan aspek yang penting dalam Islam. Tak tanggung-tanggung, Rasulullah bahkan menjadi tokoh panutan utama dalam mengimplementasikan pola perdagangan yang baik yang dapat ditiru oleh kaum Muslimin dan dunia.

Sejak kecil, Rasulullah dikenal sebagai pribadi yang amanah. Amanah adalah sikap dari orang yang dapat dipercaya sehingga beliau dijuluki al-amin atau orang yang dapat dipercaya. Betapa tidak, sejak dini, para pedagang dan saudagar dari beragam latar belakang tak ragu menitipkan dagangannya pada Rasulullah.

Baca Juga

Lantas, bagaimana sejatinya pola perdagangan yang diterapkan Rasulullah? Selain amanah, apa saja hal-hal yang diperhatikan Rasulullah SAW dalam melangsungkan bisnisnya?

Dalam buku Muhammad Sebagai Seorang Pedagang karya Afzalurrahman, setidaknya terdapat beberapa hal yang diperhatikan Rasul dalam perdagangannya. Nabi Muhammad sangat mengikuti prinsip-prinsip perdagangan yang adil dalam transaksinya. Tak hanya itu, beliau juga tak segan dan letih mengingatkan para sahabatnya yang berkecimpung dalam dunia bisnis untuk menerapkan prinsip perdagangan yang berkeadilan tersebut.

Ketika memimpin Madinah misalnya, Rasulullah menghapus habis regulasi perdagangan yang dapat menimbulkan transaksi buruk. Misalnya, menghapus transaksi yang bermuara pada penipuan, riba, judi, ketidakpastian, keraguan, eksploitasi, pengambilan untung yang berlebihan, hingga pasar gelap dan juga kartel.

Rasulullah kemudian mengembangkan serta menggunakan standar timbangan dan ukuran yang dijadikan rujukan bagi perdagangan kala itu. Bukan tanpa alasan, sistem ini dijadikan rujukan sebab masyarakat Madinah dan sekitarnya sangat merasakan dampak positif dari sistem tersebut.

Rasulullah sangat fokus terhadap perdagangan yang halal. Sudah pasti pola perdagangan syubhat apalagi haram, secara otomatis tak akan dilakukan, bahkan ditolak dan diganti dengan cara-cara baik. Hal ini sebagaimana yang pernah diucapkan Nabi Muhammad SAW dalam sebuah hadits shahih yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Imam Muslim berbunyi: “Barangsiapa menjaga dirinya dari sesuatu yang meragukan, berarti dia memelihara kemuliaan agamanya dan juga dirinya”.

Artinya secara tegas, harta dan perniagaan yang diperoleh dengan cara halal akan memuliakan pribadi orang yang bersangkutan. Rasulullah juga menggarisbawahi mengenai perdagangan apa saja yang dilarang.

Sebagai contoh sederhana, Rasulullah melarang perniagaan yang memperjualbelikan benda-benda yang dilarang dalam Alquran. Benda-benda tersebut antara lain daging babi, darah, bangkai, hingga alkohol.

Selain perkara pengklasifikasian benda atau jasa yang diperbolehkan untuk diperdagangkan, Rasulullah juga menganjurkan serta menerapkan beberapa catatan penting dari perniagaan yang baik, seperti menjaga hubungan baik dengan relasi bisnis, berkata-kata sopan, berhati-hati dalam mengambil keputusan dan perjanjian bisnis, menimbang aspek keberkahan dalam niaga, hingga menjaga hak-hak kelompok dalam bertransaksi.

Tak hanya itu, Rasulullah juga sangat menghargai akad perdagangan yang sama-sama diterima kedua belah pihak. Persetujuan dari dua belah pihak dilakukan agar transaksi yang dilakukan bernilai transparan dan tidak merugikan satu pihak tertentu.

Sektor riil

Sejatinya, aspek menarik dari perdagangan Rasulullah yang perlu ditelisik lebih jauh oleh umat Muslim adalah mengenai sektor industri atau sektor riil. Hal ini sebagaimana hadits Rasulullah yang kerap menyinggung pentingnya mengonsumsi apa-apa yang dihasilkan dari hasil kerja tangan manusia itu sendiri.

Artinya, aspek produksi merupakan hal yang disinggung dan kerap dicontohkan Rasulullah. Dengan berproduksi, kemandirian suatu umat atau masyarakat dalam lingkupnya akan mampu berswasembada atas kebutuhannya sendiri.

Adapun redaksi hadits shahih mengenai anjuran berproduksi ini berbunyi: “Sesungguhnya yang paling suci dari apa yang kamu makan adalah yang berasal dari penghasilanmu sendiri”.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement