REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982 memberi hak berdaulat kepada Indonesia di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam termasuk perikanan.
Pernyataan itu disampaikan diplomat khusus Desk Hukum Laut Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional, Kementerian Luar Negeri, Gulardi Nurbintoro, guna menanggapi pelanggaran ZEE Indonesia yang dilakukan oleh kapal-kapal China di perairan Natuna utara.
Menurut Gulardi, hak yang diatur berdasarkan UNCLOS bersifat eksklusif sehingga negara lain tidak boleh menangkap ikan di ZEE Indonesia.
“Dalam insiden di Natuna, kapal-kapal nelayan China bukan hanya lewat tetapi melakukan penangkapan ikan. Ini jelas bertentangan dengan UNCLOS di mana China terikat sebagai salah satu negara pihak,” kata Gulardi di Jakarta, Selasa (7/1).
Selanjutnya, Gulardi membantah pernyataan pihak tertentu yang menuding Indonesia belum menjalankan kewajiban total allowable catch atau jumlah tangkapan yang diperbolehkan sesuai Pasal 62 UNCLOS.
Dalam hal ini, Indonesia dianggap tidak mampu mengelola sumber daya perikanannya secara maksimal sehingga negara lain boleh bebas menangkap ikan di ZEE RI.
Gulardi menegaskan bahwa pandangan itu keliru karena Indonesia telah menetapkan jumlah tangkapan yang diperbolehkan melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.50/KEPMEN-KP/2017 tentang Estimasi Potensi, Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan, dan Tingkat Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan RI.
“Penggunaan Pasal 62 UNCLOS pada insiden Natuna tidak tepat, karena kalaupun Indonesia belum menetapkan jumlah tangkapan yang diperbolehkan, tidak menjadikan negara lain serta merta berhak untuk menangkap ikan di ZEE RI,” kata Gulardi.
Bahkan, kata dia, UNCLOS menyatakan untuk negara lain dapat menangkap ikan di ZEE RI perlu adanya perjanjian atau pengaturan lain antara kedua negara tentang hak akses.
Pemberian hak akses ini juga sudah diatur oleh UNCLOS dan diprioritaskan kepada negara yang seluruhnya berbatasan dengan daratan (land lock) dan negara yang tidak diuntungkan secara geografis, bukan berdasarkan hak historis yang tidak dikenal oleh UNCLOS.
“Prioritasnya kepada negara land lock atau geographical disadvantage states seperti Laos, Austria, dan Swiss. Yang jelas China tidak termasuk (dalam kategori negara prioritas yang bisa diberi hak akses perikanan oleh negara pantai),” tutur Gulardi.
Tensi hubungan antara Indonesia dan China dalam dua pekan terakhir memanas lantaran sejumlah kapal nelayan China masih bertahan di perairan Natuna hingga saat ini.
Dikawal oleh kapal penjaga pantai China, kapal-kapal asing itu bersikukuh melakukan penangkapan ikan di lokasi yang berjarak sekitar 130 mil dari perairan Ranai, Natuna.
TNI sudah mengerahkan delapan Kapal Republik Indonesia (KRI) untuk berpatroli dan mengamankan perairan Natuna, karena sesuai UNCLOS 1982 China tidak memiliki hak apa pun atas perairan tersebut.
Namun, pemerintah China secara sepihak mengklaim kawasan itu berdasarkan aspek historis yang mengacu pada Nine-Dash Line.
Nine-Dash Line atau sembilan garis putus-putus adalah wilayah historis Laut China Selatan seluas 2 juta kilometer persegi yang 90 persen diklaim China sebagai hak maritimnya, bahkan meski wilayah ini berjarak 2.000 kilometer dari daratan China.