Jumat 10 Jan 2020 09:26 WIB

KPK Pakai Prosedur Lama, Ini yang Dikhawatirkan Pakar UII

Mudzakir menilai tindakan sadap perlu dibatasi sebelum Dewas bekerja.

Rep: Ali Mansur/ Red: Teguh Firmansyah
Petugas dan wartawan berdiri di dekat ruang kerja Komisioner KPU Wahyu Setiawan yang disegel KPK di Jakarta, Kamis (9/1).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Petugas dan wartawan berdiri di dekat ruang kerja Komisioner KPU Wahyu Setiawan yang disegel KPK di Jakarta, Kamis (9/1).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Profesor Mudzakir menyoroti penyadapan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Bupati Sidoarjo tanpa izin dewan pengawas.

Menurut Mudzakir, harusnya KPK lebih profesional dan menyesuaikan dengan Undang-Undang baru KPK itu sendiri.

Baca Juga

"Jika Dewan Pengawas belum menjalankan tugasnya secara sempurna, tindakan sadap harus dibatasi oleh ketentuan internal KPK sebelum Dewan Pengawas bekerja," ujar Mudzakir saat dihubungi Republika.co.id, Jumat (10/1).

Kemudian, pada masa transisi sampai dengan berfungsinya Dewan Pengawas, KPK harus memiliki juknis tindakan sadap. Itu dilakukan berdasarkan bukti awal yang cukup ada tindak pidana dan dengan minimal dua alat bukti seseorang diduga sebagai pelaku kejahatan.

"Berdasar dokumen hukum tersebut seseorang ditetapkan (SK) untuk disadap. Hasil sadapannya dapat dijadikan alat bukti dalam perkara pidana,"Mudzakir menambahkan.

Maka, kata Mudzakir, jika penyadapan KPK tersebut menggunakan model lama. Artinya, ia khawatir jika KPK asal melakukan sadap tanpa mengikuti ketentuan baru maka hasil sadapannya tidak dapat dijadikan alat bukti. Dalam perkara pidana, kata ia, tidak memiliki kekuatan pembuktian.

Sebelumnya, KPK menangkap Bupati Sidoarjo bersama lima orang lainnya terkait pengadaan proyek infrastruktur di Dinas PUPR Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Bupati Sidoarjo Saiful Ilah kini telah ditahan di Rutan KPK. Saiful Ilah ditahan seusai pemeriksaan pada Kamis (9/1) sekitar pukul 03.30 WIB.

Kemudian mereka sebagai tersangka kasus suap proyek infrastruktur di Dinas PUPR Kabupaten Sidoarjo tersebut akan diberlakukan penahanan selama 20 hari ke depan. Sementara itu, Bupati Sidoarjo Saiful sesaat sebelum dibawa ke Rutan KPK, tetap membantah dirinya telah menerima suap proyek infrastruktur itu.

Anggota Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK) Sjamsuddin Haris menyatakan dua operasi tangkap tangan (OTT) beruntun yang dilakukan KPK masih menggunakan prosedur dari Undang-Undang KPK yang lama. Termasuk salah satunya, OTT KPK di Sidoarjo.

"Terkait OTT KPK di Sidoarjo maupun komisioner KPU tidak ada permintaan izin penyadapan kepada Dewas. KPK masih menggunakan prosedur UU yang lama," kata Haris saat dikonfirmasi di Jakarta, Rabu.

Ia pun menyatakan sangat memungkinkan jika proses penyelidikan dan penyadapan terhadap dua OTT tersebut sudah berlangsung sejak pimpinan KPK jilid IV. "Sangat mungkin penyelidikan dan penyadapan sudah berlangsung sejak kepimpinan KPK jilid IV (Pak Agus cs)," kata dia.

Selain itu, ia juga menyinggung soal Dewas yang belum memiliki Organ Pelaksana seperti yang tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 91 sehingga ia tak mempermasalahkan dua OTT tersebut tanpa seizin Dewas.

"Dewas sendiri belum memiliki organ karena Perpres tentang organ ewas baru turun karena masih transisional dari UU lama ke UU baru, Dewas dapat memahami langkah pimpinan KPK," ucap Haris.

Wakil Ketua Alexander Marwata mengatakan, dua OTT KPK merupakan warisan pimpinan terdahulu. Surat penyadapan telah ditandatangani oleh pimpinan KPK terdahulu sebelum aturan Dewas diberlakukan.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement