REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengaku sedang menganalisis laporan yang dilayangkan Indonesia Corruption Watch (ICW) dan sejumlah LSM lain yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi terhadap Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna H. Laoly atas dugaan merintangi penyidikan. Yasonna dilaporkan lantaran diduga merintangi proses penyidikan kasus dugaan suap penetapan anggota DPR terpilih 2019-2024.
"Laporan ICW, itu sedang dianalisis. Proses berjalan. Sudah dikaji, kemudian sedang dianalisis," kata Plt Jubir KPK Bidang Penindakan, Ali Fikri di Gedung KPK Jakarta, Kamis (30/1).
Ali menjelaskan, tahap pelaporan adalah setelah diterima di Pengaduan Masyarakat maka akan dilakukan analisa lebih lanjut terkait laporan-laporan itu. Selain melaporkan ke KPK, Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi juga mendesak Presiden Joko Widodo mencopot Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly karena diduga melakukan obstruction of justice.
"Presiden Joko Widodo segera mencopot Yasonna Laoly sebagai Menteri Hukum dan HAM dan KPK juga harus segera menyelidiki dugaan obstruction of justice yang dilakukan oleh Yasonna Laoly," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana di Kantor Transparency International Indonesia (TII) Jakarta, Kamis (30/1).
Kurnia menuturkan, sebelumnya Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi resmi melaporkan Yasonna ke KPK, langkah tersebut diambil pasca yang bersangkutan memberikan informasi sesat terkait dengan keberadaan Harun Masiku, tersangka pemberi suap kepada Wahyu Setiawan Komisioner KPU. Oleh karenanya, jika laporan itu terbukti maka Yasonna berpotensi dijerat pidana 12 tahun penjara.
Kasus ini bermula ketika pada tanggal 8 Januari 2020 KPK melakukan tangkap tangan terhadap Wahyu Setiawan Komisioner KPU atas dugaan kasus suap pergantian antar waktu anggota DPR RI. Saat itu, KPK menetapkan empat orang tersangka, salah satunya Harun Masiku, calon anggota legislatif Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan sebagai pemberi suap. Namun, KPK tidak menemukan Harun, karena menurut pengakuan dari Yasonna dan pihak imigrasi bahwa yang bersangkutan sejak tanggal 6 Januari 2020 telah meninggalkan Indonesia.
Santer diberitakan bahwa pada tanggal 7 Januari 2020 sebenarnya Harun sudah kembali ke Indonesia. Akan tetapi pada tanggal 16 Januari 2020 Yasonna Laoly membantah dan bersikukuh bahwa Harun masih berada di luar negeri. Sampai pada akhirnya pihak imigrasi meralat pernyataan dari Yasonna dan mengonfirmasi bahwa Harun pada 7 Januari 2020 memang sudah berada di Indonesia.
"Yasonna sebagai Menkumham tentu mempunyai andil dalam mempercepat proses penemuan Harun Masiku. Namun, faktanya yang bersangkutan diduga malah menghambat proses hukum yang sedang berjalan dengan berkata tidak benar terkait keberadaan Harun Masiku," tutur Kurnia.
KPK, lanjut Kurnia, bukan kali pertama menjerat pihak-pihak yang merintangi penyidikan dengan Pasal 21 UU Tipikor. Sebelumnya Fredrich Yunadi, Pengacara Setya Novanto, pernah dikenakan dengan pasal yang sama karena diduga melakukan rekayasa kecelakaan Novanto.
Tak hanya Fredrich, Lucas, pengacara Eddy Sindoro pun pernah dikenakan aturan tersebut karena diduga membantu pelarian dari kliennya saat kasus masuk pada tingkat penyidikan. Harusnya dengan potret kasus yang pernah ditangani KPK tidak lagi ragu untuk menjerat Yasonna Laoly.
Yasonna pernah menyatakan, bakal terlalu bodoh bila benar ia melindungi atau menyembunyikan Harun Masiku.
"Saya kira intelektualitas saya bukan belum seperti itu tololnya. Saya belum ingin melakukan harakiri politik, saya kira hanya soal-soal begitu, terlalu tolol saya. Saya pikir saya tidak setolol itu, enggak sampe segininya," ujar Yasonna di Kompleks Parlemen RI, Senayan, Jakart, Kamis (30/1).
Yasonna pun tetap bersikeras, pencopotan Ronny Sompie dari jabatan dirjen Imigrasi memang karena tindakannya. Ia membantah bila pencopotan Ronny Sompie lantaran tak koordinatif dalam 'melindungi' Harun, seperti yang dituduhkan kepadanya.
Menurut Yasonna, ia sudah menginstruksikan Ronny untuk memperbaiki sistem keimigrasian sejak sebulan lalu. Saat itu, klaim Yasonna, sistem keimigrasian kerap mengalami down.
"Desember saja saya rapat sudah suruh marah-marah sama mereka karena lambat (sistem pencatatan imigrasi). Sering down. Ada orang ambil paspor antrean jadi lama karena sistem transisi dari ke 1 ke 2. Akibatnya belum selesai, terminal 3 lelet," kata Yasonna.