REPUBLIKA.CO.ID, PURWOKERTO -- Pakar hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Prof Hibnu Nugroho, menilai penegakan hukum dalam 100 hari pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin (Jokowi-Ma'ruf) masih stagnan. Pemerintahan Jokowi-Ma'ruf menghadapi tantangan berat terkait pemberantasan korupsi.
"Seratus hari pemerintahan Jokowi-Ma'ruf kelihatannya di bidang hukum ada tantangan yang cukup berat, terutama terkait dengan pemberantasan tindak pidana korupsi tidak memberi gambaran yang bisa melegakan masyarakat," katanya di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Jumat.
Dia mencontohkan beberapa pengungkapan tindak pidana korupsi yang belum tuntas. Salah satunya berkaitan dengan tersangka Harun Masiku yang masih buron.
Selain itu, kata dia, masih terjadinya perdebatan-perdebatan di antara para ahli hukum dan kelompok-kelompok masyarakat antikorupsi sehingga penegakan hukum terkesan bukan melangkah, melainkan berdebat terus.
"Jadi, boleh dikatakan (penegakan hukumnya) stagnan. Padahal, inginnya kan lari, tapi stagnan, 100 hari stagnan dalam bidang penegakan hukum, belum ada suatu terobosan yang bagus, apalagi yang terkait dengan omnibus law juga belum bisa memberikan gambaran yang baik," katanya menegaskan.
Terkait dengan hal itu, Hibnu mengatakan, dalam penegakan hukum ke depan, perlu aturan yang tegas.
Menurut dia, aturan atau hukum yang ada sebenarnya tidak perlu diubah-ubah jika rumusan atau formulasi hukumnya sudah paten. "Dengan demikian, kita cukup lari. Evaluasi (terhadap hukum) boleh, tapi jangan evaluasi total. Ini rupanya dalam penegakan hukum khususnya korupsi, kok ada evaluasi total sehingga ke depan ibaratnya jalan dari nol lagi, tidak melaju cepat tetapi jalan di tempat," katanya.
Oleh karena itu, kata dia, perlu evaluasi secara global dalam kaitannya dengan politik hukum. "Politik hukum negara itu bagaimana," katanya.
Ia mengakui adanya upaya pemerintah untuk melakukan perubahan namun perubahan tersebut belum membawa ke arah yang signifikan.