REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Hari Nasional Australia yang diperingati setiap tanggal 26 Januari berbeda dengan perayaan yang penuh kebanggaan seperti Indonesia pada 17 Agustus. Bagi masyarakat adat, peringatan itu justru melambangkan penjajahan brutal.
Momen tersebut seperti Hari Columbus di Amerika Serikat, ketika hari pendaratan orang Eropa pertama di benua itu, yang sekarang dikenal sebagai Australia, pada tahun 1788. Sejak itu, warga suku Aborigin menghadapi pembantaian, penghilangan anak-anak, dan perampasan tanah.
Peringatan pada tahun ini, ribuan warga Aborigin Australia dan sekutu bersatu di seluruh negeri untuk memprotes Hari Australia. Protes ini telah dilakukan sejak 2015 dan terus meningkat setiap tahun karena semakin banyak mendapatkan dukungan, bahkan dari orang di luar masyarakat adat.
Aktivis Aborigin yang mengorganisasi protes di Melbourne Meriki Onus mengatakan, hari peringatan itu selalu menjadi momen yang cukup menyakitkan bagi orang Aborigin. "Kami memprotes hari itu sekarang. Tidak ada unsur [Hari Australia] yang dapat dihubungkan dengan orang Aborigin," ujarnya.
Onus mengatakan, ketimbang menyebutnya Hari Australia, justru Hari Invasi paling cocok yang menggambarkan momen itu. Dengan menggunakan istilah itu maka kejujuran sudah dikedepankan karena menjelaskan segalanya.
Onsu dan Warriors of Aboriginal Resistance (WAR) atau kolektif aktivis yang beroperasi di seluruh negeri mendorong penghapusan perayaan Hari Australia. Aktivitas protes pun sebenarnya sudah dilakukan jauh hari, leluhurnya telah memprotes sejak 1938, bahkan saat 26 Januari bahkan menjadi hari libur nasional.
Pada waktu itu, aktivis Aborigin menyebutnya sebagai "Hari Berkabung", dan protes serupa dengan skala kecil diadakan di Sydney. Onus mengatakan, belajar tentang sejarah panjang perlawanan orang Aborigin dari anggota keluarga karena tidak pernah diajarkan di sekolah.
"Saya adalah produk dari invasi yang terjadi di sini, tetapi saya juga produk dari 60.000 tahun hidup dalam harmoni dengan negara ini, dan saya adalah produk dari 250 tahun perlawanan," ujar Onus.
Onus pun dengan bangga menunjukan peran wanita Aborigin dalam aktivisme dan perlawanan, baik dulu maupun sekarang. Pengorganisasian protes tahun ini di Melbourne dilakukan oleh wanita Aborigin. "Ada kekuatan ketika kita dalam jumlah, dan bersama-sama, kita tidak bisa dipatahkan," ujarnya.
Kakak Onus, Lidia Thorpe, juga terlibat dalam aksi meski dia bukan seorang aktivis sosial. Pada 2017, dia menjadi wanita Aborigin pertama yang terpilih untuk negara bagian Victoria.
"Yang saya tahu berdiri dan mengambil peran kepemimpinan itu berdiri untuk orang-orang saya [dan] bekerja untuk orang-orang saya," ujar Lidia.
Lidia mengatakan, ketika ditawari posisi di Partai Hijau lokal untuk mencalonkan diri sebagai anggota Parlemen, itu adalah keputusan yang sulit. Ketika akan menerima, maka itu membahayakan etika aktivisnya.
"Bahkan ada bagian dari diriku yang merasa aku menyerahkan hak kedaulatanku untuk bergabung dengan struktur penjajah penjajah," ujar Lidia.
Tapi, Lidia berkonsultasi dengan keluarganya dan mendapatkan dukungan. Kampanye untuk keadilan bagi generasi yang dicuri dan pembentukan perjanjian antara pemerintah dan kelompok-kelompok masyarakat adat.
"Tapi sebagian besar waktu, aku merasa 'yah aku di sini, aku satu-satunya suara hitam di tempat ini, jadi kau akan mendengarku', dan aku punya beberapa hal untuk dikatakan karena pendirian ini telah menindas rakyat saya selama 200 tahun," ujar Lidia.
Meski menjadi sosok yang minoritas di kursi parlemen, secara umum, Lidia merasa suaranya diterima dengan baik. "Saya yakin, itu benar-benar membuat perbedaan, memiliki orang Aborigin di Parlemen," katanya.
Upaya-upaya untuk mengembalikan hak masyarakat Aborigin pun terus didorong. Salah satunya Pemerintah Tasmania yang telah mengembalikan lebih dari 55 ribu hektare tanah kepada komunitas Aborigin melalui Dewan Tanah Aborigin Tasmania.