REPUBLIKA.CO.ID, SRINAGAR -- India ingin membuat cerita baru tentang Kashmir. Cara yang digunakan adalah dengan menghapus sejarah yang membangun kota tersebut, termasuk menghilangkan libur nasional dalam memperingati tokoh berpengaruh Sheikh Muhammad Abdullah.
"Pemerintah India berusaha menghapus sejarah Kashmir dengan melakukan ini," ujar anak dari Sheikh Abdullah, Khalida Shah, dikutip dari Aljazirah.
Shah menceritakan nasib almarhum ayahnya yang merupakan pemimpin Kashmir modern yang paling berpengaruh. Selama beberapa dekade, ulang tahun Sheikh Abdullah pada tanggal 5 Desember adalah hari libur negara bagian di Kashmir yang dikelola India.
Namun, New Delhi telah menghapus penghormatan tersebut. "Ini benar-benar menyakitkan," ujar pria berusia 84 tahun itu menunjukan rasa kecewa atas sikap Bharatiya Janata Party (BJP) sebagai partai pemimpin pemerintahan.
Shah saat ini ditahan di rumahnya di Srinagar sejak Agustus tahun lalu sebagai bagian dari tindakan keras pemerintah terhadap politisi Kashmir. Saudaranya Farooq Abdullah dan keponakan Omar Abdullah yang merupakan mantan menteri juga ditahan sejak Agustus.
Shah mengatakan keluarganya menjadi musuh orang-orang karena berpihak pada India. Padahal tiga generasi keluarga Syeikh Abdullah memerintah wilayah ini selama hampir tujuh dekade terakhir.
Kebangkitan Syekh Abdullah dimulai pada 1931, ketika dia memimpin rakyat Kashmir menentang raja Dogra pada saat itu, Hari Singh. Upaya itu membuat Syekh Abdullah menjadi pahlawan dan mempimpin wilayah itu.
Pemimpin Kashmir ini kemudian mendukung keputusan Hari Singh untuk bergabung dengan persatuan India. Dia memberikan syarat referendum menentukan masa depan wilayah mayoritas Muslim.
Syeikh Abdullah pun dikenal dekat dengan para pemimpin politik India, termasuk perdana menteri pertamanya, Jawaharlal Nehru. Dia bahkan seorang kritikus yang gigih terhadap pendiri Pakistan Muhammad Ali Jinnah.
Tahun-tahun setelah kematian Syeikh Abdullah pada 1982, pemberontakan bersenjata melawan pemerintahan India mulai berakar dan suara-suara pro-Pakistan muncul. Banyak yang menganggap Syeikh Abdullah sebagai tokoh penjahat dan melihat langkah politiknya sebagai pengkhianatan terhadap Kashmir.
Hingga pada saat ini, para ahli mengatakan pemerintah India berupaya memaksakan versi sejarah mereka di Kashmir. Pemerintah telah menyatakan 26 Oktober sebagai Hari Aksesi untuk memperingati penandatanganan Instrumen pada 1947 ketika Hari Singh memutuskan menyatukan Kashmir dengan India.
"Sayap kanan Hindu di India mengajukan klaim teritorial atas Kashmir dengan secara sistematis menghapus pengalaman sejarah orang-orang Kashmir," kata akademisi Kashmir yang berbasis di Amerika Serikat Muhammad Junaid.
Padahal, India dan Pakistan memperoleh kemerdekaan dari kekuasaan Inggris pada Agustus 1947. Hari Singh menandatangani Instrumen Aksesi menyatakan persetujuan bahwa negara bagian Jammu dan Kashmir akan masuk ke Uni India pada Oktober 1947.
Di bawah Instrumen itu, New Delhi hanya mengendalikan urusan luar negeri, pertahanan, dan komunikasi kawasan itu. Namun seiring berjalannya waktu, New Delhi mencairkan status otonomi Kashmir.
"Mereka ingin menyangkal keberadaan sejarah panjang perjuangan Kashmir melawan negara feodal Dogra Hindu serta [untuk] kebebasan dari kendali India," kata Junaid.
Namun kepala juru bicara BJP di Jammu dan Kashmir Ashok Koul membela langkah pemerintah Modi. Dia bersikeras langkah-langkah ini tidak akan membahayakan siapa pun.
"Sejarah harus diletakkan dalam perspektif yang tepat untuk generasi baru. Pemerintah tahu apa hal yang benar untuk masyarakat ini," kata Koul merujuk pada pencabutan Pasal 370. Pasal itu menunjukan kemungkinan Kashmir memiliki benderanya sendiri, konstitusi yang terpisah, dan kebebasan untuk membuat undang-undang.
Pada 5 Agustus tahun lalu, Modi telah berkampanye menentang status khusus untuk Kashmir. Dia memutuskan untuk membatalkan Pasal 370 dan 35A konstitusi, ketentuan konstitusional yang dijamin oleh Syaikh Abdullah 70 tahun yang lalu.