REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membantah pernyataan pengacara mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi, Maqdir Ismail, yang menyebut status Daftar Pencarian Orang (DPO) yang diberikan terhadap kliennya itu tindakan berlebihan. KPK menegaskan Nurhadi tidak pernah memenuhi panggilan pemeriksaan.
"Tidak lah, sebelumnya KPK juga seperti itu karena ada beberapa tersangka yang kami jemput. Kalau kami tahu keberadaan yang bersangkutan tetapi sampai saat ini tidak tahu keberadaan yang bersangkutan makanya kami keluarkan DPO," ujar Wakil Ketua KPK Alexander Marwata di gedung KPK, Jakarta, Jumat (14/2).
Lebih lanjut, ia pun menyinggung soal pemanggilan yang sudah dilakukan secara patut oleh lembaganya, namun Nurhadi tidak pernah memenuhi panggilan. "Kami kan dalam pemanggilan baik saksi tersangka itu semua berdasarkan ketentuan yang jelas. Yang bersangkutan sudah kami panggil secara patut, ketika yang bersangkutan jadi saksi tidak hadir, ketika jadi tersangka kami panggil dua kali tidak hadir, kami datangi ke rumahnya kosong," kata Alex.
Oleh karena itu, kata dia, KPK pun memasukkan status DPO terhadap Nurhadi. Menurut Alex, keputusan memasukan Nurhadi sesuai peraturan perundang-undangan. "Kami kemudian melakukan upaya paksa dengan DPO. Kami sudah bersurat ke Polri untuk membantu cari yang bersangkutan supaya bisa hadir di KPK untuk kami periksa," ujarnya.
Selain Nurhadi, KPK juga telah memasukkan dua tersangka lainnya dalam status DPO, yakni Rezky Herbiyono (RHE) swasta atau menantu Nurhadi, dan Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal Hiendra Soenjoto (HS). Ketiganya merupakan tersangka kasus suap dan gratifikasi terkait dengan perkara di MA pada 2011-2016.
Status DPO itu diberikan karena sebelumnya tiga tersangka tersebut mangkir dari panggilan KPK untuk diperiksa sebagai tersangka sebanyak dua kali. KPK pada 16 Desember 2019 telah menetapkan tiga tersangka dalam kasus tersebut.
Dalam perkara ini, Nurhadi dan Rezky ditetapkan sebagai tersangka penerima suap dan gratifikasi senilai Rp46 miliar terkait pengurusan sejumlah perkara di MA sedangkan Hiendra selaku Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap.
Sebelumnya, Nurhadi juga terlibat dalam perkara lain yang ditangani KPK yaitu penerimaan suap sejumlah Rp150 juta dan 50 ribu dolar AS terhadap panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edy Nasution yang berasal dari bekas Presiden Komisaris Lippo Group Eddy Sindoro agar melakukan penundaan proses pelaksanaan aanmaning (pemanggilan) terhadap PT Metropolitan Tirta Perdana (PT MTP) dan menerima pendaftaran Peninjauan Kembali PT Across Asia Limited (PT AAL).
Nurhadi dan Rezky disangkakan pasal 12 huruf a atau huruf b subsider pasal 5 ayat (2) lebih subsider pasal 11 dan/atau pasal 12B UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sedangkan Hiendra disangkakan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b subsider pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.