Rabu 19 Feb 2020 10:37 WIB

Skull Breaker Challenge Populer karena Sekolah tak Mengerti

Sekolah harus membimbing anak soal skull breaker challenge bukan hanya melarang.

Munculnya Skull Breaker Challenge di TikTok harus diwaspadai karena bisa berujung kematian.
Foto: ist
Munculnya Skull Breaker Challenge di TikTok harus diwaspadai karena bisa berujung kematian.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Zainur Mahsir Ramadhan, Antara

Tantangan yang muncul media sosial kerap tidak dipertimbangkan matang-matang oleh anak-anak atau remaja yang melakukannya. Dampak buruk yang menyertainya mungkin tidak dirasakan  pelaku tantangan.

Baca Juga

Pengamat Pendidikan, Indra Charismiaji mengatakan, banyaknya pelajar dari jenjang SD hingga perguruan tinggi yang melakukan Skull Breaker Challenge, dikarenakan masih banyaknya sekolah yang menolak teknologi. Padahal, menurut dia, di era digital, sekolah tidak boleh menghindari gawai ataupun media sosial.

“Anak-anak harus dibimbing, termasuk tentang skull breaker ini. Sekadar melarang tak akan menyelesaikan masalah,” ujar dia.

Menurut dia, hal tersebut dikarenakan jiwa narsis pelajar sekarang sangat tinggi. Sehingga, bermunculannya tantangan seperti skull breaker itu, seakan menjadi wadah para pelajar.

Ia menegaskan, jika sekolah menolak ikut campur dalam teknologi dan penyebaran tantangan itu, guru dan sekolah tidak akan tahu bagaimana kehidupan sosial dan Pendidikan anak di luar. Karenanya, ia menekankan agar setiap sekolah semakin sadar untuk menanamkan pendidikan terkait itu.

“Hal ini sudah makan banyak korban, bahkan kematian,” katanya.

Kepada Republika dia menyebut, hingga kini tak ada bimbingan apapun terkait hal tersebut. Terlebih, masih banyak sekolah yang hanya mampu menolak dan menyalahkan gawai atau media daring saja.

“(Sebenarnya) siapa yang punya tanggung jawab mendidik siswa?” tanya dia.

Saat ini kebanyakan sekolah sudah disorientasi dari fokus awalnya sebagai lembaga pendidikan, menjadi lembaga persiapan tes ataupun ujian. “Ini yang buat rusak anak-anak bangsa saat ini,” tutur dia.

Indra memaparkan, pihak sekolah atau guru seakan tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh setiap muridnya. Baik itu hal baik ataupun yang buruk. Oleh sebab itu, ia tak menyetujui pembatasan alat komunikasi atau media apapun bagi para siswa.

“Harusnya dibimbing dan dicerdaskan,” kata dia.

Indra mengungkapkan, banyaknya tantangan yang berbahaya terjadi di kalangan siswa atau pelajar karena energi mereka yang tak tersalurkan. Sehingga mereka, disebutnya kerap kali melaksanakan kegiatan yang cenderung aneh.

“Padahal sekolah bisa menjadi tempat untuk penyaluran energi siswa,” ungkap dia.

Cara penggunaan gawai dan media sosial yang tepat juga menjadi pekerjaan rumah orang tua. Ayah dan ibu harus melek teknologi termasuk mengetahui apa yang sedang tren agar bisa menjembatani pengaruh tren tersebut ke anak.

Akademisi dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Edi Santoso mengingatkan seorang ibu memiliki tantangan yang lebih berat pada era digital terutama dalam mengawasi penggunaan gawai oleh anak. "Pada era digital seperti sekarang ini interaksi anak-anak dengan gawai menjadi lebih kompleks, media baru seperti media sosial tak terelakkan kehadirannya, pemanfaatan media sosial makin sulit dikontrol oleh orang tua," katanya.

Koordinator Program Studi Magister Ilmu Komunikasi Unsoed itu mengatakan, penggunaan gawai berbeda dengan televisi yang pada umumnya di tempatkan di ruang bersama dalam keluarga, sehingga relatif lebih terkontrol. "Anak-anak mungkin menggunakan media sosial di kamarnya masing-masing, bayangkan jika dalam satu keluarga, hampir semua anggotanya pegang gawai dengan fasilitas internet di rumah, masing-masing sibuk dalam dunianya sendiri, di dunia maya," katanya.

Ia menambahkan, sosok ibu yang sebelumnya sentral dalam keluarga dikhawatirkan kian memudar, tergantikan oleh pesona media baru seperti media sosial. "Ini yang harus diwaspadai, karena ibu tak akan pernah tergantikan oleh apapun, apalagi oleh perangkat teknologi, untuk itu peran ibu harus terus diperkuat, bahkan, peran ibu bisa menjadi solusi atas jeratan teknologi digital," katanya.

Dia mencontohkan, ketika anak-anak berada pada usia emasnya, seorang ibu harus bijak dalam mengenalkan gawai. "Sikap permisif bisa menjadikan anak-anak mudah kecanduan gawai, akan tetapi sikap teramat konservatif juga bisa menjadikan anak tidak 'update' dengan lingkungan, sehingga perlu sikap di tengah-tengah," katanya.

Dengan demikian, kata dia, seorang ibu butuh strategi yang tepat dalam menyikapi perkembangan teknologi digital. "Misalkan, pada usia SD hingga SMP, anak-anak harus lebih ketat untuk diawasi dalam menggunakan gawai. Kendati demikian saat anak berada pada usia SMA ke atas, ibu harus menempatkan diri sebagai teman. Misalnya, dengan cara berteman dengan anaknya di medsos agar bisa sekaligus menjadi jalan untuk memantau anak-anaknya," katanya.

Tantangan skull breaker yang viral di media sosial TikTok telah menyebabkan banyak cedera fatal di kalangan remaja. Bahkan di Brazil, seorang remaja meninggal dunia akibat melakukan tantangan ini.

Tantangan ini melibatkan tiga orang, dengan orang di tengah yang melompat. Awalnya dua orang yang di kanan dan kiri akan melompat. Kemudian saat yang di tengah melompat, kedua rekannya di kanan dan kiri akan menjegal kakinya hingga orang bersangkutan terjatuh. Beberapa tantangan di TikTok yang dilakukan oleh para remaja di luar negeri nyatanya mengakibatkan berbagau cedera fatal.

Tantangan skull breaker ini bisa menyebabkan kecatatan dan kematian. Juga kelumpuhan akibat cedera tulang belakang.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement