REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyayangkan pihak sekolah yang ceroboh dalam insiden meninggalnya delapan anak-anak pramuka yang tengah melakukan kegiatan susur sungai. Mereka diduga mengabaikan peringatan BMKG sehingga tidak menghitung faktor risiko dengan melakukan kegiatan susur sungai di musim hujan.
"Seharusnya, karena anak-anak yang akan mengikuti kegiatan kepramukaan susur sungai berada di alam yang memiliki kondisi yang sering tak terduga maka para guru dan pelatih harusnya memang memiliki pengetahuan dan pengalaman yang memadai dalam memasukinya," kata Komisioner KPAI Bidang Pendidikan, Retno Listyarti, Sabtu (22/2).
Sejatinya kata Retno, guru dan pelatih melakukan survey terlebih dahulu sebelumnya melakukan susur sungai. Termasuk juga mempertimbangkan kondisi cuaca, jalur evakuasi, kemudahan naik dan turun ke badan sungai. Begitu juga kondisi debit sungainya, apalagi ketika membawa ratusan murid yang masih usia SMP. "Artinya perlindungan anak dan keselamatan anak-anak harus menjadi faktor utama dan pertama yang dipertimbangkan dan diperhatikan," tegasnya.
Namun yang terjadi, mereka justru lalai dengan membiarkan 250 siswa dan diinstruksikan melakukan kegiatan susur sungai Sempor Dusun Dukuh. KPAI memandang bahwa kegiatan susur sungai bagi anak-anak usia SMP tidak tepat, apalagi di musim penghujan seperti saat ini.
"Idealnya susur sungai dilakukan oleh orang-orang dewasa, anak dan remaja tidak boleh susur sungai. Orang dewasa yang dimaksud adalah mereka yang telah memiliki keterampilan. Seperti TNI, Mapala, komunitas sungai, mereka-mereka yang telah terbiasa," ungkap Retno.
Misalnya saja pengakuan dari anak-anak yang selamat ini mengaku belum pernah menyusuri sungai sebelumnya. Oleh karena itu, kata Retno, kegiatan susur sungai sebenarnya bisa dilakukan di luar (aliran) sungai, tidak harus jalan-jalan di dalam (aliran) sungai, karena kegiatan ini dianggap berisiko tinggi dan hanya diperkenankan dilakukan orang yang terlatih dan terbiasa.
"KPAI mendorong Inspektorat dan Dinas Pendidikan Kabupaten Sleman memeriksa Kepala Sekolah dan jajarannya, termasuk para pelatih pramuka yang berkaitan langsung dengan keputusan kegiatan ini dilaksanakan," ujar Retno.
KPAI mendorong kepolisian menyelidiki kasus ini. Jika terbukti ada kelalaian pihak sekolah, maka proses hukum harus dilakukan. Karena ada 8 anak yang telah kehilangan nyawa dalam kegiatan ini, dan dua anak belum ditemukan.
KPAI mendorong Pemerintah Daerah melalui P2TP2A dan Dinas PPPA untuk melakukan pemulihan psikologi melalui psikososial terhadap anak-anak yang selamat dan mengalami shock. Juga masalah psikologis lainnya yang mereka alami akibat peristiwa ini.
Momentum kasus ini, KPAI juga mendorong Kemendikbud RI untuk melakukan evaluasi terhadap kebijakan menjadi Pramuka sebagai ekskul yang wajib diambil setiap anak. Bahkan mempengaruhi kenaikan kelas. Hal tersebut tertuang dalam Permendikbud No. 63 Tahun 2014 tentang Pendidikan Kepramukaan Sebagai Ekstrakurikuler Wajib mulai jenjang SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA dan SMK.
"Persoalannya, selama ini kebijakan mewajibkan siswa sekolah untuk mengikuti pendidikan kepramukaan telah menjadikan latihan kepramukaan menjadi pelajaran kepramukaan. Kebijakan yang awalnya berniat baik untuk membentuk kompetensi sosial peserta didik, malah merusak esensi pendidikan kepramukaan itu sendiri. Masifnya pendidikan kepramukaan menyebabkan hal-hal yang esensial menjadi terlupakan," kata dia.
"Terakhir, KPAI menyampaikan duka mendalam bagi para korban dan keluarganya atas tragedi ini. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa memberikan kekuatan dan kesabaran bagi keluarga korban dalam menghadapi ujian ini," ungkapnya.