REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) kerap mengingatkan negara-negara internasional untuk bersama-sama memberantas aktivitas pencurian ikan yang dinilai dapat mengatasi fenomena overfishing atau penangkapan ikan secara berlebihan.
"Tren perikanan tangkap sempat meningkat namun cenderung statis saat ini. Hal ini disebabkan oleh penangkapan ikan secara berlebihan," ujar Kepala Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDM) KKP Sjarief Widjaja, dalam siaran pers di Jakarta, Sabtu (22/2) malam.
Sebagai informasi, Kepala BRSDM Sjarief Widaja telah didaulat menjadi penulis utama pada Blue Paper (BP) No. 15 tentang IUU Fishing and Select Security Issues of Concern pada pertemuan Kelompok Ahli Panel Tingkat Tinggi (PTT) untuk Ekonomi Laut Berkelanjutan yang dilaksanakan di Abu Dhabi pada 3 Maret 2019 lalu.
Dalam BP 15, Indonesia membahas mengenai beberapa modus operandi praktek IUU fishing di wilayah ZEE maupun laut lepas, kelemahan sistem yang secara tidak langsung mendukung praktek IUU Fishing, serta solusi untuk membenahi pengelolaan laut agar terbebas dari praktik IUU Fishing.
Di samping itu, BP 15 juga membahas tentang permasalahan lainnya yang mengancam keamanan maritim. Beberapa di antaranya tindak pidana penyelundupan secara ilegal, perdagangan orang, perbudakan, dan pembajakan.
Sjarief menerangkan pula bahwa terdapat berbagai modus yang digunakan untuk melakukan IUU Fishing, antara lain penggunaan flag of convenience state atau modus menggunakan suatu bendera negara pada kapal tanpa adanya hubungan asli antara pemilik kapal dan pengoperasiannya kepada negara tersebut.
“Modus ini seringkali digunakan karena negara bendera memberikan keuntungan untuk pemilik kapal seperti pengawasan yang rendah, pendaftaran yang sangat mudah, dan perpajakan yang kecil," ungkapnya.
Selain itu, ujar dia, modus tersebut memungkinkan untuk menyembunyikan pemilik kapal yang sebenarnya. Ia juga mengungkapkan modus di mana para pemilik kapal memilih tempat pendaratan yang memiliki inspeksi yang sangat minim karena rendahnya kapasitas, sistem pencatatan yang tidak baik, maupun korupsi.
Kemudian, modus kejahatan untuk melakukan IUU Fishing dilakukan dengan mematikan alat pendeteksi posisi kapal seperti Automatic Identification System (AIS) dan Vessel Monitoring System (VMS).
"Terdapat kewajiban bagi kapal berukuran 300 Gross Ton (GT) untuk mengaktifkan AIS. Namun yang seringkali terjadi pada praktiknya di laut, mereka secara sengaja mematikan AIS dan VMS tersebut agar keberadaan kegiatannya tidak dapat dimonitor," tutur Sjarief.
Selanjutnya, terdapat praktik kejahtaan IUU Fishing di mana para pelaku menggunakan dokumen dan identitas yang dipalsukan serta melibatkan jaringan pemilik kapal yang kompleks dan lintas negara sehingga pemilik kapal yang sebenarnya sulit untuk dideteksi.
Sjarief menjelaskan bahwa praktik IUU Fishing memiliki beberapa faktor pendorong yaitu insentif ekonomi, lemahnya Regional Fisheries Management Organisations (RFMOs), dan pemerintahan yang lemah sehingga ditawarkan sejumlah solusi untuk itu.
"Kita bisa memberikan insentif ekonomi bagi para pelaku usaha yang patuh, meningkatkan penegakan hukum, dan memperkuat pemerintahan," ucapnya.