REPUBLIKA.CO.ID, oleh Puti Almas
Wabah Covid-19 yang dinyatakan sebagai pandemi oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah membuat pemerintah dari berbagai negara mengambil langkah agresif untuk mengendalikan penyebaran virus lebih lanjut. China, sebagai negara tempat virus corona jenis baru pertama kali ditemukan pada Desember 2019, sempat dianggap tidak tanggap untuk menanggulangi masalah ini. Namun, China kemudian melakukan upaya luar biasa ketika jumlah kasus infeksi meningkat secara cepat, yaitu dengan lockdown.
Langkah lockdown atau penguncian suatu kawasan untuk mencegah keluar-masuk manusia dan sesuatu lainnya di China dianggap sebagai yang paling dramatis dan kontroversial. Dengan langkah ini, puluhan juta orang terkunci, tak dapat bergerak dengan bebas. Hal ini pun dinilai sebagai sebuah karantina semu terbesar dalam sejarah manusia.
Kurang dari dua bulan setelah lockdown diberlakukan di China, pejabat kesehatan negara itu mengeklaim bahwa langkah ini berhasil. Pada Kamis (12/3) lalu, Negeri Tirai Bambu mengumumkan telah melewati puncak epidemi virus corona jenis baru, menyusul jumlah kasus per hari yang terus menurun. Pada hari itu, hanya ada delapan kasus baru, jumlah terendah sejak Covid-19 diumumkan ke publik.
“Pemerintah China akan diberikan ucapan selamat atas tindakan luar biasa yang diambil untuk mengatasi wabah ini meskipun dampak sosial dan ekonomi yang parah dari tindakan itu terhadap rakyat di negara itu,” ujar Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus pada Januari lalu saat lockdown dilaksanakan Pemerintah China.
Sayangnya, pada saat yang sama ketika jumlah kasus Covid-19 terus menurun di China, negara lain justru tampaknya tengah bersiap menghadapi puncak dari virus corona. Para pejabat di sejumlah negara, seperti Italia, negara dengan kasus infeksi terbesar setelah China daratan, tengah melakukan lockdown.
Kemudian, di Filipina, Presiden Rodrigo Duterte mengumumkan pada Kamis (12/3) bahwa semua transportasi darat, laut, dan udara masuk dan keluar dari wilayah ibu kota Manila akan dihentikan hingga pertengahan April. Di Amerika Serikat (AS), Gubernur New York Andrew Cuomo telah memerintahkan “zona penahanan” di pinggiran New Rochelle, pinggiran Kota New York. Semua tempat pertemuan umum pun ditutup. National Guard telah dikerahkan untuk membantu memberikan makanan dan mensterilkan area publik.
Ada sejumlah pertanyaan mengenai upaya lockdown yang dilakukan China untuk mengendalikan penyebaran virus corona jenis baru. Di antaranya adalah apakah hal itu tidak melanggar kebebasan warga dan melumpuhkan mata pencaharian mereka.
“Tidak ada negara lain (Barat atau lainnya) yang dapat atau harus berusaha untuk mereplikasi tindakan China," kata Thomas Bollyky, direktur Program Kesehatan Global di Dewan Hubungan Luar Negeri Washington kepada TIME.
Bollyky mengatakan, pengabaian terhadap kebebasan sipil dan hak asasi manusia yang telah ditunjukkan pemerintah dalam kegiatan karantina tidak dapat dipisahkan dari kebijakan maupun tindakan lainnya yang berkontribusi terhadap wabah di tempat pertama. Bagaimana China mengunci puluhan juta orang mulai 23 Januari lalu, dengan menutup seluruh transportasi keluar-masuk Wuhan, ibu Kota Provinsi Hubei, yang menjadi tempat virus diyakini berasal.
Sekitar 11 juta orang di sana diminta untuk tetap tinggal di rumah masing-masing kecuali untuk membeli bahan makanan atau mencari perawatan medis. Sekolah, kantor, dan pabrik ditutup. Kendaraan pribadi dilarang di jalanan kota. Dalam beberapa hari setelahnya, langkah lockdown telah diperluas untuk mencakup beberapa kota lain di China yang secara keseluruhan mengunci 60 juta orang.
Lockdown di China juga meluas melampaui ruang publik. Kontrol sosial pada pergerakan pribadi penduduk dilakukan. Keterbatasan bervariasi, mulai dari pos pemeriksaan di pintu masuk gedung hingga batas keras untuk keluar.
Di beberapa kompleks apartemen, penjaga keamanan mencegah orang masuk dan keluar. Di Wuhan, pasukan militer dikerahkan untuk memastikan warga mematuhi lockdown dan relawan pergi dari pintu ke pintu untuk memeriksa suhu setiap warga. Orang-orang yang ditemukan mengalami demam dikirim ke pusat karantina.
Pejabat China meluncurkan upaya luas untuk melacak kontak mereka yang terinfeksi. Pemerintah memanfaatkan sistem pengawasan massal dan teknologinya untuk membatasi pergerakan orang. Salah satu pemilik restoran di Provinsi Sichuan, yang telah melakukan perjalanan ke Provinsi Hubei, mengatakan, polisi tiba di rumahnya dan memerintahkannya untuk mengarantina dirinya sendiri.
Pemerintah China juga telah meminta perusahaan teknologi membuat aplikasi untuk memberi orang peringkat kesehatan kode warna berdasarkan kondisi kesehatan seseorang dan sejarah perjalanan guna mengontrol perjalanan setiap orang. Menurut banyak ahli, langkah-langkah yang diterapkan Beijing dalam menahan penyebaran virus cukup berhasil.
"Pendekatan berani China untuk menahan penyebaran cepat dari patogen pernapasan baru ini telah mengubah arah epidemi yang meningkat dengan cepat dan mematikan," kata sebuah laporan yang ditulis oleh para ahli kesehatan yang melakukan perjalanan ke pusat wabah untuk mempelajari tanggapan virus corona bagi dunia.
Kasus Covid-19 di China mencapai puncak pada akhir Januari lalu. Lockdown di Wuhan dan kota-kota lain di Provinsi Hubei secara efektif mencegah ekspor lebih lanjut dari orang yang terinfeksi di seluruh negeri. Beberapa orang berpendapat bahwa karena efektivitas dari China, pemerintah di negara tidak boleh ragu untuk menerapkan langkah-langkah sulit di daerah di mana infeksi melonjak.
“Ini ekstrem, namun begitu juga situasinya. Mereka tahu dari apa yang terjadi di Wuhan bahwa jumlahnya dapat dengan mudah berubah dari 300 menjadi 800 menjadi 2.000, sementara Anda masih memikirkan apa yang seharusnya Anda lakukan,” ujar Dale Fisher, seorang profesor kedokteran di National University of Singapore.
Sebelumnya, para kritikus mengatakan, langkah-langkah yang ditetapkan China melanggar hak asasi manusia. Beberapa penduduk di daerah yang terkena dampak mengatakan, mereka tidak dapat memperoleh kebutuhan dan perawatan medis.
Dalam sebuah laporan dari Human Rights Watch (HRW), ada sebuah kasus di mana seorang remaja dengan cerebral palsy meninggal ketika ayah dan saudara lelakinya dipaksa untuk pergi ke pusat karantina, meninggalkannya sendirian. Seorang pria dengan kanker di Huanggang, sebuah kota dekat Wuhan yang juga dikurung, mengatakan, ia tidak dapat membeli obat untuk menyelamatkan nyawanya.
Beberapa negara telah mengikuti langkah China dan mengambil tindakan drastis. Salah satunya adalah Italia, negara dengan kasus wabah terbesar di luar Cina. Virus itu di Italia telah membuat lebih dari 12 ribu orang sakit, dengan angka kematian lebih dari 800 orang. Italia pun telah menerapkan lockdown secara nasional.
Perdana Menteri Italia Giuseppe Conte memerintahkan semua area publik, termasuk restoran, kafe, dan bar, ditutup hingga akhir Maret mendatang kecuali toko kelontong dan apotek. Semua acara publik dilarang. Kegiatan belajar-mengajar di sekolah maupun universitas dihentikan sementara.
Ruang publik, seperti gedung olahraga dan bioskop, telah ditutup. Orang-orang yang menentang aturan selama lockdown di Italia bisa menghadapi hukuman tiga bulan penjara atau denda sekitar 230 dolar AS.
“Kita harus memahami bahwa semua orang harus mematuhi langkah-langkah ini,” kata Conte.
Selanjutnya, di Amerika Serikat (AS), beberapa kota dan wilayah dengan kasus Covid-19 terbesar telah mengambil kebijakan lockdown. Di Washington, gubernur negara bagian telah melarang pertemuan lebih dari 250 orang di tiga wilayah.
Pekan ini teater Broadway menutup pintu mereka. NBA menangguhkan pertandingan musim ini. NCAA membatalkan turnamen bola basket March Madness. Selai itu, beberapa negara bagian mengumumkan penutupan sekolah. Banyak perusahaan besar telah meminta karyawan untuk bekerja dari rumah.
Para pejabat sedang mempertimbangkan apakah tindakan yang lebih keras mungkin diperlukan. Anthony Fauci, direktur Institut Nasional Alergi dan Penyakit Menular di National Institutes of Health AS, mengatakan bahwa segala sesuatu mungkin terjad ketika ditanya tentang apakah langkah-langkah lockdown yang serupa dengan yang ada di Italia mungkin perlu diimplementasikan di AS.
"Saya tidak berpikir itu akan sama kejamnya seperti tidak ada yang masuk atau tidak ada yang keluar. Namun, jika kita terus mendapatkan kasus-kasus seperti ini, khususnya di tingkat masyarakat, akan ada apa yang kita sebut 'mitigasi', di mana kita pada dasarnya harus melakukan jarak sosial, menjauhkan orang dari tempat-tempat ramai, melihat keseriusan, melakukan Anda benar-benar perlu bepergian, dan saya pikir itu sangat penting di antara yang paling rentan,” kata Fauci.
Beberapa ahli kesehatan mengatakan bahwa belum waktunya untuk mempertimbangkan penguncian massal di AS. Yvonne Maldonado, seorang ahli epidemiologi dan spesialis penyakit menular di Stanford Medicine, mengatakan kepada TIME bahwa peningkatan pesat dalam jumlah kasus yang tercatat di China mungkin merupakan sinyal bahwa virus corona jenis baru menyebar tidak terkendali selama beberapa bulan sebelum terdeteksi.
Namun, para pejabat di AS, di mana sejauh ini negara mencatat lebih dari 1.600 kasus Covid-19, dinilai memiliki lebih banyak waktu untuk bersiap. Epidemi di AS terlihat sangat berbeda dari epidemi China.
"Saya pikir sayangnya China menanggung beban terbesar, dan itu memberi kami lebih banyak waktu untuk bersiap-siap,” ujar Maldonado.