Senin 23 Mar 2020 12:25 WIB

Kiat Muslim Memilih Guru Saat Hendak Menimba Ilmu

Seorang murid hendaknya istikharah dalam memilih guru.

Rep: Ali Yusuf/ Red: Ani Nursalikah
Kiat Muslim Memilih Guru Saat Hendak Menimba Ilmu
Foto: Antara/Arif Firmansyah
Kiat Muslim Memilih Guru Saat Hendak Menimba Ilmu

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Syafri Muhammad Noor dalam bukunya Adab Murid Terhadap Guru menuturkan, ada beberapa hal yang perlu dilakukan seorang murid sebelum menimba ilmu. Bukunya tersebut merupakan terjemahan dari kitab Tadzkiratus Sami wal Mutakallim fi Adabil Alim wal Muta’llim karangan Imam Ibnu Jama’ah As-Syafi’i.

"Kitab ini merupakan salah satu kitab yang membahas tentang adab, baik itu adab bagi murid,adab bagi guru, dan adab-adab yang lainnya," katanya.

Baca Juga

Menurut Syafri yang perlu pertama seorang murid sebelum menimba ilmu adalah memilih guru melalui istikharah. "Hendaknya seorang murid menimbang dan melakukan istikharah kepada Allah tentang seorang guru yang mau diambil ilmunya," katanya.

Kedua, memilih guru harus yang memiliki akhlak yang baik karena mendapatkan kebaikan perilaku (akhlak) serta adab dari seorang guru. Ketiga, mencari guru yang mempunyai kompetensi. Hendaknya seorang murid jika memungkinkan, memilih guru yang memiliki kompetensi atau memiliki kapabilitas secara baik. Guru itu harus diketahui benar-benar mempunyai rasa belas kasih, nampak kewibawaannya, diketahui kebaikan, kesederhanaanya, dikenal keterjagaannya, paling baik pengajarannya dan paling bagus dalam memahamkan ilmu.

Keempat, murid harus wara'. Seorang murid tidak menginginkan penambahan

ilmu tatkala kurang teguh dalam bersikap wara’ atau beragama, atau tidak memiliki tingkah laku yang baik. Sebagian ulama Salaf mengatakan: "Ilmu ini adalah agama, maka lihatlah dari siapa kalian mengambil agama kalian".

Kelima, jangan menimba ilmu dari guru karena popularitas guru. Hindari menimba ilmu karena popularitas guru dan meninggalkan orang ahli ilmu yang tidak populer.

Imam Ghazali menilai tindakan tersebut termasuk dari kesombongan terhadap ilmu, dan menjadikannya sebagai tindakan dungu karena hikmah itu adalah sebuah barang yang hilang milik orang beriman, dia memungutnya di manapun ia menemukannya, memanfaatkannya dimanapun dia meraihnya, dan dia menyandarkan karunia kepada siapa yang membawanya kepadanya. Penimba ilmu berlari dari jeratan kebodohan sebagaimana dia berlari dari terkaman singa, dan orang yang berlari

dari terkaman singa tidak menolak arahan siapa pun yang mengarahkannya agar bisa selamat.

Kenam, mencari keberkahan guru yang tidak populer. Jika guru yang tidak populer termasuk orang yang keberkahannya diharapkan, maka manfaatnya lebih menyeluruh dan menggali ilmu darinya lebih sempurna.

Ketujuh mencari guru yang jelas riwayat belajarnya. Hendaklah berusaha mendapatkan syaikh guru yang memiliki pengetahuan ilmu-ilmu syar’i secara sempurna, dan beliau senantiasa bersama para masyayikh (guru-guru) di zamannya untuk memperbanyak kajian dan berkumpul dalam waktu yang lama, bukan mencari guru yang mengambil ilmu dari perut buku (otodidak) dan tidak diketahui kebersamaannya dengan para masyayikh yang mumpuni.

Kedelapan, jangan mencari guru yang belajar secara otodidak karena itu berbahaya. Imam Syafii Radhiyallahu ‘anhu berkata: "Siapa yang bertafaqquh dari perut buku (otodidak), ia telah menyia-nyiakan hukum. Dan sebagian mengatakan: di antara musibah yang besar adalah berguru kepada lembaran kertas (dengan pemahamannya sendiri tanpa ada guru yang akan mengoreksi jika ada kesalahan)".

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement