REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisioner KPU Evi Novida Ginting tidak terima dengan keputusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), yang memecat dirinya dari jabatan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU). Evi Novida Ginting pun melaporkan pemecatan dirinya kepada Ombudsman Republik Indonesia.
Dalam laporannya, Evi menduga adanya maladministrasi dalam putusan DKPP yang memberhentikannya dari keanggotaan KPU. Kepada Ombudsman, Evi menyampaikan beberapa poin dugaan maladministrasi dalam pengambilan keputusan DKPP kepada Ombudsman yang diterima oleh Laporan tersebut diterima anggota Ombudsman Alamsyah Saragih. Kuasa hukum Evi, Fadli Nasution berharap Ombudsman dapat menindaklanjuti laporan ini.
"Kami berharap Ombudsman RI dapat mengeluarkan rekomendasi kepada Presiden RI, supaya demi hukum menunda pelaksanaan Putusan DKPP dimaksud," kata Fadli dalam keterangannya, Selasa (24/3).
Dalam laporannya, Evi juga menjelaskan, pengadu yakni caleg DPRD Kalimantan Barat dari Partai Gerindra Hendri Makalua telah mencabut aduannya kepada DKPP secara lisan dan tertulis. Pencabutan aduan ini disampaikan Hendri pada sidang pendahuluan 13 November 2019 atau sebelum dalil-dalil dalam pokok pengaduannya dibacakan di hadapan persidangan.
Untuk itu, Evi menilai pengaduan Hendri seharusnya dinyatakan gugur dan batal demi hukum. Selain itu, Evi menilai proses pembuktian menjadi tidak sempurna dan cacat hukum. Hal ini lantaran meski DKPP memutuskan sidang tetap dilanjutkan pada persidangan kedua pada 17 Januari 2020 dengan agenda pembuktian, Hendri tidak hadir lagi dan tidak ada pihak yang membuktikan pokok perkara dengan alat bukti maupun saksi.
Padahal, terdapat asas hukum siapa yang mendalilkan maka dialah yang membuktikan. Sementara tanpa dihadiri Hendri, dugaan pelanggaran kode etik yang ditujukan kepada KPU, tidak ada lagi pihak yang dapat membuktikannya.
Tak hanya itu, Evi menyatakan tidak pernah menghadiri persidangan DKPP karena alasan dinas dan kesehatan (operasi) yang bersamaan dengan jadwal sidang DKPP. Sehingga secara pribadi sebagai pihak yang diputus telah melanggar kode etik, Evi tidak pernah diperiksa dan memberikan jawaban dalam persidangan.
Selain itu, dalam laporannya ini, Evi menyatakan, Keputusan KPU Kalbar menetapkan perolehan suara dan caleg terpilih DPRD Provinsi Kalbar di Dapil Kalbar 6, semata-mata hanyalah menjalankan Putusan MK yang bersifat final dan binding, sebagaimana arahan kebijakan dari KPU RI yang diputuskan secara kolektif kolegial. Lebih jauh, Evi juga berargumentasi jika Putusan DKPP diambil dalam rapat pleno tertutup yang hanya dihadiri 4 orang dari seharusnya 7 orang atau minimal 5 orang dalam keadaan tertentu.