Selasa 31 Mar 2020 13:31 WIB

Saat Pasien Membeludak, Siapa yang Didahulukan Rumah Sakit?

Harus ada pedoman bagi rumah sakit untuk menentukan pasien yang harus didahulukan.

Rep: Shelbi Asrianti/ Red: Reiny Dwinanda
Ventilator. Rumah sakit harus memilih pasien yang harus diprioritaskan untuk ditangani saat pasien membeludak, terlebih saat fasilitas terbatas, salah satunya ventilator.
Foto: EPA
Ventilator. Rumah sakit harus memilih pasien yang harus diprioritaskan untuk ditangani saat pasien membeludak, terlebih saat fasilitas terbatas, salah satunya ventilator.

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Pasien positif Covid-19 yang terus bertambah di seluruh dunia membuat pihak rumah sakit dan fasilitas kesehatan lain kewalahan. Ketika jumlah pasien membeludak, tenaga medis harus mengambil keputusan cepat untuk mendahulukan penanganan.

Skenario terburuk itu sudah terjadi di sejumah negara yang dilanda pandemi corona, salah satunya Spanyol. Pejabat panti jompo di negeri matador itu mengatakan, ada banyak warga yang sekarat, tetapi tidak bisa masuk ke rumah sakit karena penuh.

Baca Juga

Persoalan utamanya adalah kekurangan ventilator, alat bantu pernapasan yang sangat dibutuhkan oleh pasien Covid-19. Persoalan itu jamak terjadi di banyak negara, bahkan Amerika Serikat (AS) juga mengalaminya.

Society for Critical Care Medicine mengatakan, ada 900 ribu pasien corona di AS yang membutuhkan mesin alat bantu pernapasan. Kelompok itu memperkirakan, AS  hanya memiliki 200 ribu mesin, banyak di antaranya sudah dipakai pasien penyakit lain.

Pejabat kesehatan di seluruh AS tengah meninjau pedoman yang akan membantu tenaga medis untuk mengalokasikan secara tepat sumber daya terbatas di kondisi darurat. Prinsip umumnya adalah memprioritaskan pasien yang memiliki peluang terbaik untuk pulih.

Secara otomatis, prinsip itu mengecualikan kelompok tertentu untuk bisa mendapat perawatan ventilator, termasuk mereka yang menderita penyakit paru-paru kronis. Sejumlah rumah sakit di AS pun mempertanyakan masalah etika.

Pedoman yang sebelumnya dimiliki New York masih membuat pengecualian untuk pasien yang sakit parah. Aturan yang sama juga menganggap diskualifikasi terhadap pasien usia lanjut akan menjadi kasus diskriminatif.

Pedoman menambahkan catatan mengenai preferensi sosial yang kuat untuk menyelamatkan pasien anak-anak. Dengan kata lain, faktor usia menjadi pertimbangan penting sebagai pengikat, terlebih ketika kehidupan seorang anak dipertaruhkan.

Rekomendasi tanggap Covid-19 yang diterbitkan pekan ini oleh Asosiasi Medis Jerman menyatakan, usia tidak boleh menjadi satu-satunya faktor penentu. Penanganan pun tak bisa dilakukan apabila pasien butuh perawatan intensif permanen untuk bertahan hidup.

Pelaksanaan keputusan yang berpotensi menentukan hidup-mati seseorang bisa memicu beban emosional yang menghancurkan bagi tenaga medis. Itu sebabnya pedoman dibuat oleh tim triase terpisah, bukan diserahkan kepada dokter dan perawat.

"Ini adalah keputusan yang sangat menakutkan. Anda tidak ingin ada dokter atau perawat yang membuat keputusan ini," kata Nancy Berlinger dari Hastings Centre, sebuah lembaga penelitian bioetika, dikutip dari laman AP.

Tim pembuat keputusan yang terpisah dimaksudkan untuk memastikan pasien mendapatkan perawatan yang adil, terlepas dari ras, status sosial, atau faktor pribadi lainnya. Berlinger mencatat bahwa ketidakadilan sosial masih bisa terjadi.

Misalnya, orang miskin cenderung menjadi lebih sakit, tetapi itu tidak bisa diperbaiki dalam pergolakan pandemi. Perhitungan suram lainnya yang bisa dilakukan oleh rumah sakit adalah berapa lama seorang pasien diprediksi menggunakan tempat tidur dan ventilator.

Begitu juga hitungan tentang berapa banyak nyawa yang bisa dihemat oleh satu mesin. Itu akan membantu mencegah keputusan yang bahkan lebih memilukan, yakni apakah akan melepas alat dari salah satu pasien agar bisa digunakan untuk pasien lain.

Sebuah makalah tentang keadaan darurat Covid-19 terbit di New England Journal of Medicine pekan lalu. Pada makalah, penulis mengungkap bahwa tindakan mengambil sumber daya berharga dari satu pasien untuk menyelamatkan yang lain bukanlah tindakan membunuh dan tidak memerlukan persetujuan pasien.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَلَقَدْ اَرْسَلْنَا رُسُلًا مِّنْ قَبْلِكَ مِنْهُمْ مَّنْ قَصَصْنَا عَلَيْكَ وَمِنْهُمْ مَّنْ لَّمْ نَقْصُصْ عَلَيْكَ ۗوَمَا كَانَ لِرَسُوْلٍ اَنْ يَّأْتِيَ بِاٰيَةٍ اِلَّا بِاِذْنِ اللّٰهِ ۚفَاِذَا جَاۤءَ اَمْرُ اللّٰهِ قُضِيَ بِالْحَقِّ وَخَسِرَ هُنَالِكَ الْمُبْطِلُوْنَ ࣖ
Dan sungguh, Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum engkau (Muhammad), di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antaranya ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu. Tidak ada seorang rasul membawa suatu mukjizat, kecuali seizin Allah. Maka apabila telah datang perintah Allah, (untuk semua perkara) diputuskan dengan adil. Dan ketika itu rugilah orang-orang yang berpegang kepada yang batil.

(QS. Gafir ayat 78)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement