REPUBLIKA.CO.ID, oleh Lintar Satria, Kamran Dikarma, Dwina Agustin
Saat negara-negara barat di Eropa dan juga Amerika Serikat tengah mengalami akselarasi jumlah kasus baru Covid-19, China mulai merasakan penurunan wabah. Pada Selasa (31/3), Pemerintah China memang mengumumkan satu kasus kematian dan 48 kasus baru corona. Namun, semuanya diklaim sebagai kasus impor (imported case).
Secara total, China sudah mencatat 81.518 kasus infeksi Covid-19. Mereka melaporkan sebanyak 3.305 pasien meninggal dunia akibat virus tersebut. Kini, 76.052 pasien sudah diizinkan pulang dari rumah sakit. Sementara itu, tinggal 2.161 pasien yang masih dirawat.
Di Wuhan dan Provinsi Hubei, wilayah tempat pertama kalinya ditemukan kasus Covid-19 pada Desember 2019, kini bahkan tidak lagi ditemukan kasus baru. Pemerintah China pun mulai melonggarkan kebijakan karantina wilayah (lockdown) sejak akhir pekan lalu.
Selama enam hari terakhir, Kota Wuhan tidak melaporkan adanya kasus baru Covid-19. Kehidupan warga berangsur normal.
Wuhan International Plaza telah dibuka kembali untuk publik. Mal ini adalah mal pusat butik-butik dengan merek ternama seperti Cartier dan Louis Vuitton berdiri.
Kendati plaza tersebut telah beroperasi kembali, tindakan pencegahan infeksi tetap dilakukan. Staf Wuhan International Plaza menunggu pengunjung dengan masker dan sarung tangan.
Zhang Yu (29 tahun) merupakan salah seorang warga yang menyempatkan diri mengunjungi sentra butik kenamaan tersebut. "Wuhan International Plaza sangat merepresentasikan (Wuhan). Jadi, pembukaannya kembali benar-benar membuat saya merasa kota ini hidup kembali," ujarnya, Senin (30/3).
Banyak kompleks ritel dan pusat perbelanjaan yang mulai beroperasi kembali. Pasalnya, banyak pebisnis meminta persetujuan untuk melanjutkan bisnisnya.
"Bisa sehat dan meninggalkan rumah, bertemu dengan rekan kerja lain, adalah hal yang sangat bahagia. Ini mungkin tampak sangat biasa, tetapi setelah mengalami epidemi, menjadi damai adalah anugerah," kata Wang Xueman, seorang perwakilan penjualan kosmetik.
Wakil Menteri Industri dan Teknologi Informasi China Xin Guobin mengatakan, pemerintah telah memberikan pinjaman sebesar 200 miliar yuan kepada 5.000 pelaku usaha atau bisnis. Pasalnya, kegiatan ekspor-impor China memburuk ketika pandemi menyebar.
Selain pusat perbelanjaan dan bisnis, sarana transportasi di Wuhan juga sudah dibuka secara bertahap. Otoritas setempat telah membuka kembali kereta bawah tanah dan layanan kereta jarak jauh.
Lebih dari 12 ribu penumpang tiba dengan kereta api berkecepatan tinggi ketika stasiun kereta Wuhan dibuka kembali pada Sabtu (28/3). Sementara itu, kereta kargo pertama ke Eropa berangkat ke Jerman membawa onderdil mobil, produksi elektronik, serat komunikasi optik dan pasokan medis.
Penumpang kereta bawah tanah di Wuhan tetap diharuskan memakai masker dan diperiksa suhu tubuhnya saat akan menggunakan transportasi. Kantor berita China Xinhua menyatakan, tanda-tanda yang dipasang di kereta bawah tanah memberi tahu penumpang untuk tetap menerapkan jaga jarak sosial.
Sejak Wuhan di-lockdown total pada 23 Januari, kini pembatasan secara bertahap telah dilonggarkan. Pengaturan yang menghalangi warga Wuhan meninggalkan Hubei juga akan dicabut pada 8 April.
Infeksi gelombang kedua
Langkah Wuhan mencabut kebijakan lockdown saat ini menjadi perhatian khusus para ilmuwan di dunia, apakah langkah ini berpotensi memunculkan gelombang kedua (second wave) kemunculan kasus baru Covid-19 di kota tersebut. "Sudah saatnya merelaksasi lockdown (di Wuhan). Namun, kita harus waspada akan potensi infeksi gelombang kedua," kata ahli epidemiologi dari Universitas Hong Kong, Ben Cowling, dikutip Nature, Senin (30/3).
Jika infeksi gelombang kedua memang benar-benar akan datang, Cowling memprediksi kasus baru akan muncul pada akhir April. Namun, untuk mencegah hal itu, beberapa provinsi di China saat ini menerapkan kebijakan tes dan pelacakan kontak dekat untuk menentukan lokasi infeksi baru Covid-19. China juga menutup perbatasan untuk meminimalisasi kasus impor. Semua pendatang dari luar China wajib menjalani karantina selama 14 hari.
Menurut Cowling, penerapan kebijakan lockdown di China sukses karena dibarengi oleh langkah keras dan agresif pemerintah terhadap warganya. Kondisi ini berbeda dengan, misalnya, Italia dan Spanyol, yang mengutamakan fokus mereka memperlambat penyebaran virus, tetapi tanpa tes intensif dan pelacakan kontak dekat.
Senada dengan Cowling, Gabriel Leung, seorang peneliti penyakit menular yang juga dari Universitas Hong Kong, menyatakan risiko pecahnya gelombang infeksi baru di China masih besar. Salah satu penyebabnya adalah masih banyak warga terinfeksi Covid-19 yang tidak terdeteksi.
"Sekali lockdown mungkin tidak cukup dan upaya keras menekan penyebaran virus di China masih dibutuhkan," kata Leung.
Menurut Leung, virus Covid-19 akan sulit mempertahankan eksistensinya dalam populasi manusia ketika di antara mereka 50- 70 persennya telah terinfeksi kini telah bersifat imun. Namun, Leung menekankan, bahkan di Wuhan, tempat 81 ribu kasus Covid-19 ditemukan, jumlah orang yang terinfeksi dan kini imun kemungkinan hanya pada kisaran 10 persen. Artinya, banyak orang yang masih rentan terinfeksi.
Vaksin akan meningkatkan persentase jumlah orang yang imun terhadap Covid-19. Namun, setidaknya dunia masih harus menunggu setahun sampai vaksin Covid-19 ditemukan. "Angka-angka itu tidak membuat kita lega," kata Leung.
Namun, berdasarkan laporan dari tim Imperial College London, yang dipimpin oleh Neil Ferguson, kebijakan lockdown dan jaga jarak fisik yang secara keras diterapkan Pemerintah China telah berhasil mengakhiri transmisi lokal Covid-19. Karena itu, Ferguson setuju jika China mulai melonggarkan lockdown secara bertahap tanpa kekhawatiran akan kemunculan kembali wabah Covid-19.
“Pada masa sulit ini, hasil penelitian kami menunjukkan bahwa setelah ini relaksasi lockdown dalam skala besar dimungkinkan, bahkan sebelum vaksin ditemukan," kata anggota tim Christl Donnelly, dikutip Guardian.