REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ronggo Astungkoro, Antara
Pemerintah memastikan tidak berencana memberi remisi atau membebaskan secara bersyarat narapidana korupsi saat pandemi corona atau Covid-19. Sebelumnya, usulan ini dilemparkan oleh Menkumham Yasonna Laoly yang kemudian diralat oleh Menko Polhukam Mahfud MD.
"Tindak pidana korupsi itu sebenarnya tidak uyu-uyuan juga sih tempatnya sudah luas, sudah bisa melakukan physical distancing. Malah diisolasi di sana lebih bagus daripada di rumah," jelas Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, melalui video singkat, dikutip Ahad (5/4).
Selain itu, dia juga menyebut pemerintah tetap berpegang pada sikap Presiden Joko Widodo pada 2015 lalu terkait Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012. Kala itu, kata dia, Jokowi menyatakan tidak akan mengubah peraturan tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan tersebut.
"Pada 2015 Presiden sudah pernah menyatakan tidak akan mengubah dan tidak punya pikiran untuk merevisi PP Nomor 99 tahun 2012," kata Mahfud.
Menurutnya, karena itulah pemerintah tidak memiliki rencana memberikan pembebasan bersyarat kepada narapidana korupsi hingga hari ini. Itu juga berlaku terhadap narapidana terorisme dan narapidana bandar narkotika. Salah satu alasannya karena ketiga jenis narapidana itu berbeda dengan narapidana dengan kasus-kasus pidana umum.
"Karena alasannya, PP-nya itu, pertama, khusus. Sudah ada bahwa itu berbeda dengan napi yang lain," ungkap mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu.
Sebelumnya, demi mencegah penyebaran virus corona atau Covid-19, lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan, Menkumham Yasonna H Laoly mengusulkan narapidana kasus korupsi dan narkotika dibebaskan. Syaratnya, yang dibebaskan adalah napi yang sudah berusia 60 tahun ke atas dan sudah menjalani 2/3 masa hukuman.
"Napi narkotika dengan masa pidana 5-10 tahun dan menjalani 2/3 masanya (pidana) akan kita berikan asimilasi di rumah, perkiraannya 15 ribu (napi). Napi korupsi yang berusia 60 tahun ke atas dan sudah jalani masa hukuman 2/3 sebesar 300 orang," ujar Yasonna dalam rapat kerja virtual dengan Komisi III DPR, Rabu (1/4).
Selain itu, usulan pembebasan juga akan ditujukan pada narapidana kriminal khusus yang sakit kronis. Serta, sudah mejalani 2/3 masa hukumannya.
Demi merealisasikan usulan ini, Yasonna mengatakan bahwa akan merevisi PP Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Rencanya, hal ini akan dibawanya ke dalam rapat terbatas dengan Presiden Jokowi.
"Jadi kami akan laporkan ini ke ratas nanti agar revisi ini sebagai tindakan emergency bisa dilakukan," ujar Yasonna.
Yasonna sendiri mengklaim, Jokowi sudah setuju dengan hal ini. "Tinggal nanti kita lihat sejauh mana bisa kita tarik ini, tentu saya akan berupaya keras meyakinkan. Karena keinginan kita membuat keadaan semakin baik," ujarnya.
Setnov hingga Kaligis
Menurut peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramdhana, usulan Yasonna berpotensi membebaskan napi korupsi, di antaranya mantan Ketua DPR Setya Novanto (65) dan OC Kaligis. ICW pun mempertanyakan usulan Yasonna yang tidak mempertimbangkan korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime).
"Penting untuk dipahami bahwa kejahatan korupsi tidak bisa disamakan dengan bentuk kejahatan lainnya," ujar Kurnia, Jumat (3/4).
Kurnia menyebutkan, sejumlah koruptor yang berpotensi bebas selain Setya Novanto. Ada nama mantan Menteri Agama, Suryadharma Ali (63), terpidana kasus dana haji.
Selanjutnya, ada nama mantan Hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar (61). Ia merupakan terpidana kasus suap uji materi kesehatan hewan ternak. Nama lainnya, yakni mantan pengacara OC Kaligis (78). Ia sebelumnya tersandung kasus suap Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Pada Sabtu (4/4) malam, Yasonna membuat bantahan terkait niat meloloskan narapidana korupsi dengan mengeluarkan Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020. Yasonna menegaskan tujuan Kemenkumham adalah untuk mencegah penyebaran wabah virus corona (Covid-19) di Lapas, Rutan dan Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA).
"Saya disebut mau meloloskan napi narkoba dan kasus korupsi. Seperti sudah beredar beberapa waktu lalu di media massa. Itu tidak benar," ujar Yasonna dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu (4/4).
Kemudian pada Ahad (5/4) Yasonna kembali menanggapi respons terkait pembebasan narapidana. Menurut dia, hanya orang yang tumpul rasa kemanusiaannya yang tidak mau membebaskan narapidana dari lapas dengan kondisi kelebihan kapasitas di tengah pandemi Covid-19.
"Saya mengatakan, hanya orang yang sudah tumpul rasa kemanusiaannya dan tidak menghayati sila kedua Pancasila yang tidak menerima pembebasan napi di lapas over kapasitas," kata Yasonna melalui pesan singkat, di Jakarta, Ahad (5/4).
Menurut Yasonna, kebijakan pembebasan napi di tengah pandemi Covid-19, sesuai dengan anjuran Komisi Tinggi PBB untuk HAM dan subkomite PBB Antipenyiksaan. Bahkan, menurut Yasonna, kritik tersebut lebih banyak berimajinasi dan memprovokasi.
"Yang tidak enak itu, ada yang tanpa fakta, tanpa data, langsung berimajinasi, memprovokasi, dan berhalusinasi membuat komentar di media sosial," kata Yasonna menambahkan.