REPUBLIKA.CO.ID, Ajaran Islam mendidik umatnya untuk memperlakukan semua bangsa dalam posisi yang sejajar. Baik bangsa Arab maupun non-Arab (atau juga dikenal dengan istilah ajam), kedua-duanya adalah setara di mata Allah SWT.
Rasulullah SAW bersabda: "Tidak ada keutamaan bagi bangsa Arab atas bangsa ajam, dan tidak ada keutamaan bagi yang berkulit hitam atas yang berkulit merah kecuali dengan takwa."
Sejarah pun mencatat, kaum Muslimin Arab dan ajam saling membantu dalam membangun peradaban Islam, mulai dari bidang dakwah, politik, militer, hingga ilmu pengetahuan. Bahkan, tidak sedikit sahabat Rasulullah SAW dari kalangan non-Arab yang memberikan kontribusi penting bagi tegaknya panji-panji Islam pada masa lampau.
Sebut saja Salman al-Farisi, seorang sahabat Nabi SAW yang berasal dari Persia. Dia dikenal sebagai ahli strategi militer ulung dalam Perang Khandaq, yaitu pertempuran antara kaum Muslimin melawan kelompok kafir Makkah pada 627 Masehi (5 Hijrah).
Dalam perang tersebut, jumlah pasukan Muslim kalah jauh dibandingkan dengan tentara yang dikerahkan oleh kelompok kafir Makkah. Sejarawan asal Prancis, Maxime Rodinson, dalam buku Muhammad: Prophet of Islam menyebutkan, kaum Muslimin pada waktu itu hanya memiliki 3.000 tentara. Sementara, kekuatan musuh mencapai 10 ribu tentara.
Melihat situasi yang tidak seimbang itu, Salman al-Farisi mengusulkan pembuatan parit di dekat Madinah untuk membentengi kota tersebut dari serangan kaum kafir Makkah. Strategi yang ditawarkan Salman ketika itu ternyata sangat jitu. Kaum Muslimin berhasil memperoleh kemenangan meski dengan jumlah pasukan yang minim.
Sahabat Nabi SAW lainnya, Bilal bin Rabah, juga berasal dari kalangan ajam. Dia adalah mantan budak keturunan Afrika yang dibebaskan oleh Abu Bakar ash-Shiddiq dari majikan bernama Umayyah ibn Khalaf. Bilal dikenal lantaran suaranya yang merdu dan menggugah jiwa. Oleh karena itulah, Rasulullah SAW menunjuknya sebagai muazin pertama dalam sejarah Islam.
"Tidak hanya itu, Bilal juga diberi kepercayaan oleh Rasulullah SAW untuk mengemban jabatan prestisius sebagai bendahara negara di Madinah," ungkap peneliti Islam asal Mesir, Tarek A Ghanem, dalam karya tulisnya, "A Slave with a Free Soul (Part 3: Bilal ibn Rabah)".
Sepeninggal Rasulullah SAW, kaum Muslim ajam terus memberikan kontribusinya bagi perkembangan dunia Islam. Peranan mereka bahkan membawa peradaban Islam mencapai puncak kejayaannya di bidang ilmu pengetahuan. Sebut saja beberapa nama seperti al-Farabi, Ibnu Sina, dan al-Biruni. Mereka adalah ilmuwan-ilmuwan yang sangat masyhur pada zamannya.
Al-Farabi, ilmuwan asal Persia yang hidup antara 872–950, dikenal lantaran pemikiran-pemikiran politiknya yang cemerlang. Upaya al-Farabi dalam melestarikan naskah-naskah kuno Yunani asli selama abad pertengahan telah memengaruhi banyak filsuf terkemuka, seperti Ibnu Sina dan Maimonides. Melalui karya-karyanya, ia tidak hanya terkenal di dunia Timur, tetapi juga di dunia Barat. Salah satu karyanya yang paling populer adalah al-Madinatu al-Fadhilah (Negara Utama).
Selanjutnya, Ibnu Sina yang berasal dari Bukhara (Uzbekistan sekarang), juga memberi sumbangan yang amat penting bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Oleh kalangan Barat, ilmuwan Muslim yang lahir pada 980 itu dikenal dengan sebutan Avicenna.
Selama hidupnya, Ibnu Sina telah menelurkan ratusan karya yang berisi tentang ilmu kedokteran, sains, astronomi, kimia, psikologi, dan filsafat. Beberapa bukunya seperti al-Qanun fi al-Thibb (Standar Ilmu Kedokteran) dan kitab al-Shifa (Kitab Penyembuhan) bahkan dianggap sebagai masterpiece ilmu kedokteran sepanjang zaman.
Sementara, al-Biruni, ilmuwan Muslim asal Khawarezm (Uzbekistan), terkenal karena kepiawaiannya di bidang antropologi, sosiologi, komparatif, kimia, fisika, geografi, astronomi, dan matematika. Salah satu karyanya yang paling fenomenal adalah kitab Tahqiq Ma li'l-Hind min Maqala Maqbula fi'l-'Aql aw Mardhula atau biasa disingkat menjadi kitab al-Hind. KItab tersebut merupakan hasil penelitiannya terhadap kebudayaan bangsa India pada abad ke-11.