REPUBLIKA.CO.ID, Dalam masa pemerintahan Islam sejak masa Rasulullah SAW hingga masa kekhalifahan empat sahabat Nabi, dipilih sejumlah orang untuk menjadi hakim agung.
Hakim-hakim itu dipilih untuk mewakili Rasul SAW dalam memutuskan suatu perkara, baik yang berkenaan dengan perkara pidana maupun persoalan fatwa terkait dengan urusan hukum syariah.
Di antara mereka adalah Hudzaifah ibn al-Yaman al-`Absy. Salah satu kasus yang pernah ia selesaikan ialah persengketaan dua saudara yang saling memperebutkan batas tembok rumah mereka.
Amru bin Ash. Ia pernah diberikan kepercayaan untuk memutuskan persengkataan yang terjadi antara dua orang di hadapan Nabi.
Muadz ibn Jabal. Sahabat Mu'adz adalah seorang qadli yang diutus Nabi ke wilayah Yaman tepatnya di daerah Al-Janad. Muadz diinstruksikan untuk menjadi delegasi qadli Nabi di daerah tersebut, termasuk juga mengurusi masalah zakat dan menyebarkan syiar Islam di sana.
Sahabat lainnya adalah Uqbah ibn Amir al-Juhani, Ma`qil ibn Yasar, Ali bin Abi Thalib, Utab bin Asib di Makkah, Al-Ala Al-Hadrami ke Bahrain. Delegasi qadi juga diutus untuk persoalan-persoalan tertentu, peperangan, misalnya. Rasulullah pernah memerintahkan Saad bin Ubadah sewaktu perang Abwa dan Said bin Madhun tatkala perang Buwat.
Pada masa khalifah empat, ada sejumlah sahabat dan tabiin yang diangkat menjadi hakim agung di antaranya Uwaimir bin Amir untuk wilayah Madinah, Syuraih bin Kharits Al Kindi untuk Kufah, Abu Musa Al Asyari di Bashrah dan Ustman bin Qais bin Abi Al Ash untuk wilayah Mesir.
Sistem peradilan Islam secara tegas menekankan tiap orang memiliki kedudukan dan perlakuan yang sama di mata hukum. Rasul SAW telah mempraktikkan hal tersebut. Persamaan di mata hukum juga dijadikan mindset dalam sistem peradilan yang dijalankan oleh para sahabat.
Pernah suatu ketika Umar bin Khathab bertikai dengan seorang Baduwi. Sang khalifah hendak membeli seekor kuda darinya.
Ternyata ketika dicoba, kuda tidak mau berjalan dan didapati cacat. Umar bin Khatab komplain dan mengembalikan kudanya.
Si Baduwi menolaknya dan bersikukuh kuda yang dijualnya sehat dan tidak cacat. Meskipun Umar bin Khathab adalah seorang khalifah, ia tetap diputus salah. Syurah bin Al Harist, selaku qadi memutuskan ada dua pilihan, ambil kuda itu apa adanya, atau Umar bin Khathab harus mengganti kuda serupa dalam kondisi sehat.