REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi IV DPR RI meminta pemerintah mengganti penugasan kepada BUMN untuk mengimpor daging kerbau dari India menjadi menyerap produksi ayam dalam negeri. Hal itu lantaran proses importasi daging kerbau tengah mengalami gangguan sementara ketersediaan ayam lokal tengah berlebih dan menyebabkan harga anjlok di peternak.
Permintaan tersebut menjadi salah satu kesimpulan Rapat Dengar Pendapat Virtual Komisi IV DPR bersama Perum Bulog pada Kamis (9/4).
"Komisi IV DPR RI meminta pemerintah untuk merealokasi anggaran importasi daging kerbau yang mengalami penundaan dikarenakan pandemi Covid-19, dengan melakukan penyerapan daging ayam lokal," kata Ketua Komisi IV Sudin.
Direktur Utama Perum Bulog, Budi Waseso, menuturkan, sebagai salah satu BUMN yang ditugaskan mengimpor daging kerbau, hal itu bisa saja dilakukan. Namun, itu perlu diputuskan pemerintah dalam Rapat Koordinasi Terbatas (Rakortas) level Kementerian Koordinator Perekonomian.
Sejauh ini, kata dia, Bulog sebetulnya telah melakukan pengembangan bisnis berupa penyerapan daging ayam lokal bekerja sama dengan PT Berdikari (Persero) yang memiliki usaha peternakan ayam. Hanya saja kapasitas Bulog untuk menyerap daging ayam tidak besar lantaran belum memiliki cold storage atau gudang pendingin.
Soal importasi daging kerbau, ia mengakui bahwa tengah mengalami kendala. Meski pendanaan importasi daging kerbau berasal dari kas Bulog, masih tetap diperlukan izin impor dari Kementerian Perdagangan lantaran impor daging kerbau bersifat penugasan.
Sayangnya, terdapat keterlambatan penerbitan izin impor dari Kementerian Perdagangan kepada Bulog. Padahal, importasi daging kerbau telah diajukan sejak awal 2020 dan direstui pemerintah dalam rakortas Kemenko Perekonomian dengan kuota impor 100 ribu ton.
"Kita tidak langsung mendapatkan izin impornya. Izin diberikan setelah muncul wabah Covid-19. Begitu, wabah muncul, India lockdown, jadi terhambat," kata Buwas dalam Rapat Dengar Pendapat Virtual bersama Komisi IV DPR, Kamis (9/4).
Akibat pemerintah India yang menerapkan lockdown, proses pengiriman tidak dapat dilakukan. Hal itu, kata Buwas, telah disampaikan langsung oleh eksportir daging kerbau di India kepada Bulog.
Buwas melanjutkan, Bulog sudah berusaha untuk bisa mendapatkan daging kerbau beku dari India yang telah dikirim ke Malaysia. Langkah itu awalnya bisa dilakukan lantaran Malaysia tengah menerapkan kebijakan lockdown. Namun, kata Buwas, nyatanya tetap tidak bisa karena seluruh akses ditutup.
Soal harga ayam yang jatuh, Ketua Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Indonesia wilayah Jawa Barat, Mukhlis, menuturkan, harga livebird atau ayam siap potong sempat anjlok hingga Rp 5.000 per kilogram hingga Ahad (5/4) lalu. Ia menyebut, permintaan di pasar tradisional turun hingga 40 persen dan membuat penumpukan stok.
Di sisi lain, industri hotel, restoran, dan katering (horeka) banyak yang melakukan penutupan sementara. Situasi itu secara langsung mengurangi permintaan daging ayam dari peternak rakyat.
"Saat ini harga baru naik sedikit sekitar Rp 12.000 - Rp 15.000 per kilogram karena pabrikan (perusahaan integrator) setop produksi ayam," kata Mukhlis kepada Republika.co.id, Rabu (8/4).
Kendati harga kembali naik, posisi saat ini peternak tetap merugi. Sebab, rata-rata biaya pokok produksi ayam saat ini berkisar Rp 19.000 per kilogram. Mukhlis mengatakan, pasca penurunan drastis pada pekan lalu, Kementerian Pertanian menginstruksikan para pabrikan ayam untuk setop produksi dan penjualan hingga 12 April 2020 mendatang.
Namun, menurut dia, sudah banyak pabrikan yang kembali melakukan produksi dan menjual ke pasar. Hal itu membuat posisi harga ayam yang diproduksi peternak berpotensi untuk jatuh kembali.
"Potensi ada, tapi kita berharap itu tidak terjadi lagi karena sudah tidak ada untungnya," ujar Mukhlis.
Akibat tak kuat menahan kerugian sejak tahun 2019 lalu, rata-rata peternak melakukan penjualan langsung kepada konsumen. Harga dipatok Rp 20 ribu per kilogram untuk ayam hidup sedangkan Rp 25 ribu per kilogram untuk ayam potong yang siap diolah.